Ketgam : David Saweri di areal mangrove yang ditanamnya sendiri di Pantai Sarmi, Papua
Laporan : Igg Maha Adi.
“Tuhan sudah buat alam cukup untuk kita. Kitong yang harus jaga untuk penuhi kebutuhan”. - David Saweri.
Sendiri, ia menanam 17 ribu bibit mangrove dan menghasilkan sekitar 200 ribu pucuk lainnya untuk ditanam di Kota Ombak Sarmi, Papua. Tak ada tanda ia akan berhenti
Sekarang musim angin timur, ombaknya besar dan air di sini kadang pasang saat siang. Kalau berjalan di tepi pantai, di dekat padang lamun kadang kita bisa lihat penyu sisik dan pari batu. Kata kami pu kakek, dulu semua binatang ini ada, tapi saya tak pernah lihat lagi dari sejak anak-anak sampai saya dewasa. Sekarang mereka kembali lagi, karena ada padang lamun dan mangrove yang kita tanam.
Ini saya mau cerita tentang mangrove, pohon dan hutan yang saya tahu sejak kecil sekali.
Kami satu keluarga besar kakek-nenek, ayah ibu sudah tahu mangrove karena hidup dekat sekali. Kami juga bilang mangrove ini hutan bakau, kadang dibilang mangi-mangi. Sering kami menjala atau tangkap kepiting untuk dimakan atau dijual.
Kalian di Jawa atau Kalimantan mungkin so paham hutan, sungai, air, tapi saya suka mangrove karena itu unik. Kitong bisa lihat semua hutan, air, sungai, ikan, berkumpul jadi satu di sini.
Alam dari Tuhan ini unik sekali, tetapi mangrove sangat unik karena kadang terendam kadang kering oleh air laut, sungai air tawar juga ada mengalir, binatang-binatangnya berbeda ketika surut dan pasang.
Sa suka lihat Kelomang dan kepiting ke luar, tapi ketika air pasang ada banyak ikan, ada banyak burung air. Sering saya bawa jala, sehabis menanam saya bawa ikan pulang untuk dimakan atau dijual.
Oh iya, sa David Saweri orang asli Sarmi umur 45 tahun, sekarang masih tinggal di kota Sarmi, ibukota Kabupaten Sarmi, tetangga dari Jayapura, ibukota Papua. Istri saya tenaga bantu di sekolah PAUD dekat rumah dan, anak kami dua. Saya punya rumah 2.500 meter persegi, peninggalan keluarga. Kitong tanam banyak sayur seperti kangkung, bayam, dan sawi.
Pohon buah juga banyak kami tanam, ada papaya dan mangga. Di belakang ada tanaman kayu seperti matoa dan merbau. Kami makan dan kami jual kalau panennya bagus,cukup untuk keluarga kami. Alam ini sudah kasih makanan cukup, tapi kitong yang harus jaga untuk memenuhi kebutuhan.
Saya minta maaf sedikit melantur to, karena saya mau cerita lagi tentang tanam mangrove itu.
Saya mulai tanam sekitar tahun 2001 dan tidak ada yang bantu, sendiri saja. Sa lihat mangrove sudah terdegradasi di Sarmi jadi harus ada yang tanam. Supaya ada wadahnya saya bikin lembaga Kipas, Karya Insan Peduli Alam Sarmi. Lembaga ini pengurusnya tak ada, saya sendiri saja dan belum didaftarkan ke pemerintah. Soalnya, dulu dorang suka tanya, kakak di lembaga apa jadi sekarang saya bisa jawab Kipas.
Sa sedih lihat mangrove mulai habis di sepanjang pantai Sarmi, karena masyarakat setempat ambil saja semua yang mereka mau. Saya lihat kalau mangrove sudah habis, padang lamun juga hilang, burung air juga pergi, kepiting tidak ada tempat hidup.
Kalau saya membaca dan diskusi dengan teman-teman, saya tahu bisa bahaya untuk kita orang pantai kalau mangrove habis karena nanti ada badai kencang, gelombang tinggi, dan tsunami yang tidak bisa dihalangi. Itu jasa lingkungan dari mangrove yang sering orang lupa. Kita senang Kota Sarmi dijuluki Kota Ombak karena ombaknya memang besar, tapi bisa bahaya kalau pelindung alami di pesisir itu rusak atau hilang.
Orang biasa ambil kayu mangrove banyak-banyak untuk rumah tapi tidak pernah tanam kembali, orang senang berburu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) atau tangkap burung, dan makan pari batu (Hemantura gerrardi).
Saya sudah tahu itu ada binatang yang dilindungi dan dilarang pemerintah untuk tangkap seperti penyu, tapi saya susah sekali untuk kasih tahu ke mereka, karena tanah mangrove itu bukan tanah pemerintah. Tanah itu milik bersama beberapa marga adat yang tinggal di pesisir Sarmi. Sa juga tak bisa beri alternatif mata pencaharian untuk mereka yang pergi ke mangrove cari makan.
Paling sedih itu ketika tahun 2000 pemerintah buka jalan lintas kampung dari Kampung Karpasia ke Kampung Maset di Sarmi Barat, panjangnya 10 kilometer tapi lebarnya hanya 2 meter karena hanya jalan perkampungan to, dan hanya berupa makadam belum diaspal.
Hutan mangrove habis dibabat, juga kiri dan kanan jalan hutan dibuka. Kalau ada jalan maka ada rumah-rumah dibangun di dekat jalan itu dan banyak limbahnya dibuang ke mangrove karena tidak ada irigasi yang bagus.
Tapi saya tak mau lama-lama bersedih. Kalau begitu, saya mulai saja dari menanam mangrove, dan kalau sudah besar dan lebat pasti ikan dan kepiting akan datang, kelomang juga banyak dan enak dimakan. Kitong juga masih bisa berburu pari batu karena tidak dilarang pemerintah. Jadi masyarakat bisa beralih dari tebang kayu dan menjadi nelayan menangkap ikan, kepiting, rajungan, atau budidaya tanaman lain.
Sa belajar dari Bapak dimana cari bibit mangrove, karena lihat beberapa kali Bapak tanam mangrove, dan bagaimana cara memilih bibit.
Rumah saya dekat dari hutan mangrove tak sampai tiga kilometer, jadi saya sering datang dan duduk di pantai mengamati pohon mangrove, bagaimana kekuatan pohonnya ketika ada air pasang dan surut, atau angin kencang, apa saja jenis pohon mangrove yang tumbuh di Sarmi ini, juga mengingat-ingat binatang-binatang yang hidup di mangrove.
Dari belajar sa tahu bakau itu banyak jenis yang tumbuh di Sarmi, seperti Sonneratia, Bruguiera, Rhizophora. Itu semua saya pelajari sendiri dari alam dan membaca buku, belum ada pakai Google dan handphone. Itu saya belajar semuanya tiga tahun dari 2001 sampai 2004.
Dua Bulan 198 Ribu
Tahun 2004 saya mulai kumpulkan bibit dari pantai dan belajar menyemai. Jadi sa tahu teknis semai yang cocok dan cepat dipakai di sini. Kalau perlu bibit cukup banyak, saya sewa perahu ke Pulau Liki, sekitar 45 menit pakai dari Pelabuhan Sarmi. Cukup jauh.
Sa pakai uang sendiri hasil menjual sayur, buah, ikan atau kayu keras yang ditanam di rumah. Sa tak pernah menebang kayu mangrove. Saya ke Pulau Liki dapat sumbangan dari kawan-kawan untuk sewa perahu dan juga peralatan lain karena karena saya di situ tujuh hari.
Saya punya teknik sendiri menyemaikan bibit, tidak pakai propagul seperti kebanyakan orang-orang tetapi saya memilih teknik bedengan (bedeng).
Jadi, saya gali tanah di area pasang surut seperti membuat kolam ukuran 20x1,2 m, lalu tiap benih saya masukkan ke polybag dan diisi dengan tanah. Kita harus tahu tinggi air pasang dan surut, juga tahu binatang-binatang yang sering naik saat pasang supaya bibit terendam air dengan cukup dan tidak habis dimakan binatang.
Banyak yang simpati dengan yang saya lakukan tetapi sedikit sekali yang empati mau ikut turun menanam, jadi saya tetap kerjakan sendiri.
Pernah di tahun 2017 saya diminta Dinas Kehutanan Kabupaten Sarmi untuk menyiapkan 94.400 bibit mangrove dalam waktu tiga bulan, mulai dari persemaian sampai siap tanam.
Saya buat enam bedeng dan semua sudah selesai ditanam dalam waktu 1 bulan 3 minggu. Jumlah bibit yang saya serahkan bahkan lebih banyak, 98.800 pucuk. Waktu itu sa diberi 15 juta rupiah.
17 Ribu dan Sendiri
Kalau dihitung dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2020, bibit yang sudah sa tanam kira-kira 17 ribu pucuk dan sendirian saja, di luar permintaan pihak lain seperti Dinas Kehutanan atau Lingkungan Hidup atau yang menanam bersama kawan-kawan.
Hampir semua tumbuh dengan baik karena saya sering mengecek ke pantai. Area tanam itu tersebar di Sarmi jadi sa tidak sempat cek berapa luas yang tepat, tapi mungkin ada beberapa kilometer persegi.
Banyak yang tanya berapa saya habis uang untuk tanam mangrove. Sebetulnya tidak banyak, paling besar 500 ribu rupiah ketika sewa perahu cari bibit di Pulau Liki dan tidak sering juga pergi ke sana.
Banyak teman yang datang membantu kadang dengan uang atau alat, tapi kita butuh punya komitmen yang kuat dan Tuhan akan buka jalan. Saya tidak pernah kekurangan untuk makan keluarga karena tanah kami subur, airnya juga subur, pohonnya subur dan bakaunya juga bisa jadi sumber makanan.
Sa cukup sering dilibatkan dalam acara tanam mangrove oleh dinas-dinas, tapi terus terang tidak ada bantuan pendanaan atau bantuan lain kepada saya.
Hanya teman-teman atau anak-anak sekolah yang sering datang tanya apa yang bisa mereka bantu. Kalau anak sekolah, mereka punya pelajaran mengenal lingkungan, jadi saya ajak mereka tanam langsung dari bedeng atau ikut ke Liki cari bibit biar mereka paham bagaimana mangrove itu tumbuh.
Ada yang saya lupa, saya pernah diundang pertemuan oleh pemerintah Kabupaten Sarmi untuk terlibat di program mangrove dari donor internasional tahun 2014.
Tapi saya tidak ikut lagi, mungkin waktu itu saya merasa tidak sejalan saja dengan bayangan tentang masa depan mangrove di sini. Jadi, saya kembali saja bekerja mandiri dengan bantuan teman-teman.
Kalau mau tanam mangrove di areal yang luas, tidak bisa dilakukan sendiri. Jadi kalau di tempat jauh saya buat kolaborasi dengan teman-teman LSM seperti Rumah Mangrove di Jayapura.
Kami pernah bikin acara diskusi mangrove, dan saya berbagi pengalaman tanam mangrove ini. Saya juga banyak belajar tentang jasa-jasa lingkungan dari mangrove dari teman-teman.
Sekarang saya sudah berani datang ke kampung-kampung bilang kitong punya mangrove bisa jadi sumber penghasilan bukan sumber bencana. Bisa bikin kita bersyukur kepada alam, bukan menghancurkan pemberian Tuhan itu kepada kita.
Mereka bisa lihat saya bisa tangkap ikan kapan saja di hutan mangrove karena mangrove jadi tempat pemijahan banyak ikan. Pohon-pohon yang tua juga bisa ditebang tetapi harus menanam supaya ada suksesi yang baik di mangrove.
Kalau sempat mampir ke Sarmi, ayo kita lihat pantai dan kalau beruntung bisa lihat bebek danau, yang kata orang tidak pernah ada sebelumnya di sini. Indah sekali. Sama indahnya dengan kitorang pu barisan mangrove dan senja di mercusuar Sarmi***
Catatan: sa=saya, dorang=mereka, kitong=kita, su=sudah,