Quantcast
Channel: Beritalingkungan.com | Situs Berita Lingkungan | The First Environmental Website in Indonesia
Viewing all 1284 articles
Browse latest View live

Pandemi Corona Dan Nasib Penjaga Rimba Terakhir

$
0
0
Oleh : Jekson Simanjuntak

“Dunia sedang menghadapi kehancuran dan bencana ekologis. Masyarakat adat di seluruh dunia, hanya merekalah yang akan menyelamatkan Bumi dan umat manusia dari bencana kehancuran total.”
Noam Chomsky

Sekeliling mulai gelap, saat Depati Njalo, perwakilan Orang Rimba bertutur tentang upaya mereka melindungi hutan alam yang tersisa ditengah ancaman pandemi Covid-19. Ia hadir di sela-sela diskusi online Peringatan Hari Bumi ke-50 yang digelar pada 22 April lalu.

Seperti Orang Rimba lainnya, Depati Njalo setia melindungi hutan melalui tradisi yang dipertahankan hingga sekarang. Hutan yang dimaksud adalah Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang menjadi rumah, sekaligus sumber penghidupan mereka sejak lama.

Proses interaksi dengan hutan telah membentuk peradaban dan budaya saling membutuhkan antara Orang Rimba dengan alam. Hubungan yang harmonis itu menghasilkan tatanan tradisi yang kuat, dibuktikan dengan adanya aturan adat serta kearifan lokal lainnya.

Budaya Melangun salah satunya. Budaya ini sebagai bentuk penghormatan kepada anggota keluarga yang telah meninggal. Selanjutnya, anggota kelompok yang tersisa akan berkelana meninggalkan tempat asalnya dalam waktu tertentu (baca: sekarang 1-12 bulan). Adapun jenazah diletakkan di Tanah Pasoron (lokasi pemakaman)

"Tanah Pasoron itu tempat meletakkan jenazah Orang Rimba yang meninggal. Dan tempat itu tidak boleh dibuka jadi kebun atau pohonnya diambil." ujar Depati Njalo.

Bagi Depati Njalo, Tanah Balubalai dianggap sebagai penghormatan terhadap Bumi dan sang pencipta. Di Tanah Balubalai yang merupakan zona adat, Orang Rimba biasanya melaksanakan peribadatan. Tempat itu disakralkan dan diyakni dijaga oleh Dewo (dewa) dan ruang adat itu tidak boleh diganggu.

"Tanah Balubalai, sebagai tempat Orang Rimba melakukan ritual adat dan tempat sembayang yang tidak boleh diganggu", tegas Depati Njalo.

Tanah Perano'on yang merupakan tempat Orang Rimba melahirkan, menurut Depati Njalo juga disakralkan. Di lokasi itu, pohonnya tak boleh ditebang sembarangan. Apabila ditebang, pelakunya mendapat nasib sial.

Orang Rimba sangat memperhatikan detil lokasi yang dijadikan Tanah Perano'on, seperti: tanahnya harus datar, kesuburan tanah serta jenis tanaman yang cocok sangat disesuaikan.

"Tanah Perano'on dipilih khusus, tempat Orang Rimba melahirkan sekaligus membesarkan anak-anak mereka", kata Depati Njalo

Selain itu, masih banyak aturan adat dan ritual Orang Rimba yang masih terpelihara hingga sekarang. Hal itu, menurut Depati Njalo, sebagai upaya melindungi hutan, ditengah alih fungsi lahan yang terus terjadi. Akibatnya, ruang gerak Orang Rimba terbatas.

"Ketika hutan semakin sempit, imbasnya kembali pada kami. Seperti misalnya pada keberadaan pohon Setubung, yang ditanam ketika anak-anak lahir, bisa jadi musnah", papar Depati Njalo.

Orang Rimba memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan, khususnya pohon Tenggeris dan Setubung. Kedua jenis pohon itu sangat dibutuhkan Orang Rimba.

Pohon Tenggeris, misalnya, digunakan untuk menanam ari-ari anak yang baru lahir. Sedangkan Setubung diambil kayunya lalu yang diusapkan ke dahi anak yang baru lahirdan dipercaya bisa menolak bala.

Kedua pohon itu menjadi semacam identitas bagi anak yang baru lahir. "Jika pohonnya ditebang, dipercayai si anak mendapatkan penyakit," papar Depati Njalo.

Bagi Orang Rimba, pembabatan hutan yang berisi pohon Tenggiris atau Setubung, sama saja seperti nyawa mereka ikut hilang. Penghilangan nyawa merupakan pelanggaran berat bagi Orang Rimba. Sebagai kompensasi atas hilangnya nyawa, pelanggarnya didenda 500 lembar kain. Ini merupakan denda tertinggi di komunitas Orang Rimba.

Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi, mengidentikkan pohon Tenggeris dan Setubung sebagai personifikasi bayi Orang Rimba, sekaligus bukti kedekatan terhadap alam.

"Orang Rimba ketika lahiran, akan meletakkan ari-ari bayi di bawah pohon Tenggiris", kata Rudi Syaf yang terlibat dalam pendampingan Orang Rimba sejak lama.

Menurut Rudi, jika pohon Tenggiris bertambah besar, diyakini kesehatan anak juga ikut membaik. Kesehatannya beriringan dengan pertumbuhan pohon tersebut.  Namun akan muncul masalah, ketika pohon Tenggiris ditebang, misalnya dijadikan perkebunan kelapa sawit atau Hutan Tanaman Industri (HTI).

"Akibatnya si anak, seperti tercerabut dari akar kehidupannya. Itulah mengapa pohon Tenggiris dan Setubung dianggap sakral", papar Rudi Syaf yang menekuni dunia sosial dan advokasi masyarakat miskin di dalam hutan.

Jika pada praktiknya ada yang berani menebang pohon tersebut, dan kawasan itu masih mereka kuasai, menurut Rudi, pelakunya akan mendapatkan hukuman berat.

Namun, fakta menunjukkan jika perkebunan kelapa sawit telah begitu masif, dan Orang Rimba tidak mampu menolak. "Pilihan selanjutnya adalah mundur. Dan itu sangat menyakitkan bagi orang rimba", kata Rudi Syaf.

Lalu, ketika hutan habis, Rudi menyebutnya sebagai kiamatnya Orang Rimba. "Layak disebut kiamat, karena Orang Rimba memiliki hubungan yang sangat personal dengan hutan", ujar Rudi.

Bagi Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup yang sangat peduli terhadap kelestarian sumberdaya alam, menilai Orang Rimba memiliki wisdom (kearifan lokal) yang perlu dipelajari.  "Peranan orang rimba, adalah pengalaman local wisdom yang tinggi, yang mampu meningkatkan sumber daya alam hayati", ujar Emil Salim.

Karena itu, menurut Emil Salim, sudah saatnya kearifan lokal digali bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, pohon Tenggiris yang menjadi tempat disimpannya ari-ari Orang Rimba.  "Ari-ari menjadi hal penting yang dikenal di dalam plasma nuftah, khususnya terkait sel punca. Saat ini banyak orang berlomba-lomba mempelajarinya", ujar Emil Salim.

Lalu, mengapa pohon Tenggiris, mengapa tidak pohon lain? Emil Salim menilai hal itu perlu diselidiki. "Apa fungsi, peranan dan manfaat dari pohon tenggiris itu", tanya Emil Salim

"Besesandingon" Social Distancing Versi Orang Rimba
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, dimana lebih dari 3 juta orang terinfeksi dengan angka kematian mencapai 219,463 jiwa (data 29 April 2020), hal itu menjadi keprihatinan tersendiri. Untuk memutus penyebaran virus, sejumlah negara menganjurkan warganya melakukan social/physical distancing yang tak lain dari pembatasan jarak agar terhindar dari virus SarsCov-2.

Di sela-sela pandemi yang merebak sebulan lalu, Orang Rimba ternyata memiliki antisipasi dengan cara kembali ke tengah hutan. Mereka menyebutnya "Besesandingon", atau mengasingkan diri dari orang sakit atau yang diduga mengidap penyakit.

"Orang rimba memegang tradisi menyendiri di dalam hutan, yang saat ini kita analogikan dengan istilah WFH, social distancing atau physical distancing," ujar Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno melalui siaran persnya yang diterima Berita Lingkungan pada 16 April lalu.

Dalam siaran pers bernomor 148/HUMAS/PP/HMS.3/4/2020, Wiratno, menyebut ada banyak kearifan lokal di nusantara yang selaras dengan alam. Nilai-nilai kearifan itu menjadi fondasi dalam konservasi di era modern.

"Pandemi Covid-19, seperti momentum bagi kita untuk lebih arif, dimana Bumi, perlu istirahat dari gegap gempitanya kegiatan manusia. Dari Orang Rimba, kita juga belajar kembali kepada alam," ungkap Wiratno.

Sementara itu, Kepala Balai TNBD Haidir menyebut tradisi Besesandingon diterapkan sejak lama oleh Orang Rimba. Itu merupakan kearifan lokal yang terpelihara hingga sekarang, agar terhindar dari wabah penyakit.

Sebagai contoh, bila ada anggota keluarga yang baru pulang dari luar hutan yang jaraknya jauh, maka tidak boleh tinggal di rumah. Tetapi ditempatkan di Sudung (rumah tenda) yang jaraknya 200 meter dari rumah utama.

Tujuannya, agar tidak menulari yang lain, jika ternyata membawa penyakit dari luar. Jika tinggal di Sudung selama 1 minggu, dan ia tetap sehat, berarti bisa tinggal di rumah utama.

“Budaya Besesandingon merupakan kearifan lokal yang sangat relevan dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini,” pungkas Haidir.

Mantan Temenggung Tarib, atau H Jaelani yang kini menjadi tetua adat Orang Rimba dari Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, menyebut Besesandingon sebagai cara agar Orang Rimba terhindar dari penyakit menular. Terbukti, sejak dulu, Orang Rimba berhasil selamat karena mematuhi pantangan dan larangan adat.

“Contoh, zaman dulu jika ada yang sakit batuk, ia tidak boleh melewati jalan yang biasa dilewati orang di dalam hutan. Kalaupun terpaksa, si penderita harus memberi tanda, sehingga jalan tersebut tidak dilewati orang sehat, selama minimal 7 hari", ujar Tarib, mantan Tumenggung Sungai Terab yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden SBY di tahun 2006.

Rudi Syaf, Direktur Direktur Eksekutif KKI Warsi, menyebut Besesandingon sebagai praktik physical distancing ala Orang Rimba. Cara itu menunjukkan jika mereka sangat peduli dengan kesehatan komunitasnya.

"Besesandingon, yaitu physical distancing untuk melindungi diri dari wabah jika ada yang sakit", ujar Rudi Syaf.

Sementara bagi Akhmad Arif, penulis buku "Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas" menilai kemampuan physical distancing ala Orang Rimba patut dicontoh.

"Salah satu kunci sukses mereka adalah kemampuan mengisolasi diri, di ruang dimana mereka mampu beradaptasi dengan baik", ungkap Akhmad Arif.

Namun, Akhmad Arif kawatir jika Covid-19 hadir di komunitas Orang Rimba. Meski faktanya mereka mampu beradaptasi dengan penyakit-penyakit lama, namun untuk Covid-19, pastinya dibutuhkan waktu yang lama dan bisa jadi jumlah Orang Rimba akan berkurang.

Berburu Dan Meramu Ciri Orang Rimba
Berburu menjadi penanda bagi Orang Rimba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Rimba merupakan pemburu ulung dan tidak mengenal tradisi beternak.  Secara umum, ada dua teknik berburu yang dikembangkan Orang Rimba, yakni memasang jerat, dan menangkap langsung hewan buruan.

Memasang jerat merupakan teknik berburu yang paling banyak dipraktekan. Tidak seperti menangkap langsung, yang tentunya lebih sulit, memasang jerat bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk anak-anak.

Sehingga jangan heran, jika anak-anak Orang Rimba sangat terlatih membuat jerat. Adapun hewan yang dijerat, diantaranya: babi hutan, rusa, kancil, musang, trenggiling, landak, tikus dan tupai.

Sementara teknik kedua, yakni menangkap langsung hewan buruan memerlukan ketrampilan dan keberanian. Berburu model ini dilakukan berkelompok, dibantu anjing pemburu, serta dilengkapi sejumlah alat, seperti: tombak, parang, dan tali untuk mengikat.

Kini, binatang buruan semakin langka dan untuk mendapatkannya harus menempuh jarak yang jauh. Hewan buruan yang mudah didapat hanyalah babi hutan. Hewan lainnya seperti rusa, kancil, dan kijang sudah jarang ditemui.

Orang Rimba juga dikenal sebagai peramu, yaitu mengumpulkan dan meramu makanan dari hutan. Belakangan Orang Rimba juga mampu berkebun, dalam arti sebidang lahan ditanami tanaman-tanaman keras, seperti: durian, nangka, cempedak, duku, salak hutan, pisang, jengkol, petay, dan karet yang getahnya disadap setiap hari.

Orang Rimba memiliki kebun yang jauh berbeda dengan kebun orang desa. Kebun Orang Rimba lebih mirip hutan dengan berjenis-jenis tanaman keras, bercampur tanaman asli hutan. Karen tidak dirawat dan mirip hutan, kebun tersebut dijadikan tempat menjerat aneka jenis hewan.

KKI Warsi menilai Orang Rimba yang hidupnya bergantung pada berburu dan meramu, berpotensi terpinggirkan seiring ruang gerak yang terbatas. "Saat ini, banyak Orang Rimba tinggal di kebun sawit, baik milik perusahaan atau milik masyarakat lain. Kemudian ada juga yang hidup di kawasan HTI", ujar Rudi Syaf.

Menurut Rudi, Orang Rimba di luar hutan alam (TNBDB) mampu bercocok tanam dengan sistem monokultur. Tentu saja, karena banyak yang hidup di kawasan hutan Akasia,  atau perkebunan karet.  "Itu yang sekarang dikenal sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI)", tegas Rudi Syaf.

Orang Rimba yang hidup di luar kawasan hutan alam, menjadi marjinal, karena sumberdaya alam yang terbatas. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari meramu dan berburu.

"Berbeda dengan yang masih tinggal di kawasan TN Bukit Duabelas. Mereka masih bisa meramu dan berburu", kata Rudi.

Populasi Orang Rimba Menurun
Akhmad Arif, Penulis buku 'Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas' beruntung bisa menyaksikan bagaimana Lembaga Eijkman mengambil sampel DNA Orang Rimba di kawasan TN Bukit Duabelas. Saat itu, Aik, nama panggilan Akhmad Arif dibantu tim dari KKI Warsi.

"Di 2016, saya jalan bersama Warsi, bukan hanya untuk mengetahui asal usul Orang Rimba, tetapi tapi juga mencari tahu jenis penyakit yang ada di sana", ungkap Akhmad Arif.

Menurut Aik, yang menarik dari temuan Eijkman adalah mengenai identitas genetik Orang Rimba, usai meneliti mithocondria DNA perempuannya, diketahui mulai terbentuk sekitar 400 tahun lalu.

"Yang jika dihitung, sekarang baru sebanyak 20 generasi", ujar Aik yang sedang menyelesaikan bab-bab akhir dari buku 'Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas'.

Di dalam bukunya, Aik menyebut nenek moyang Orang Rimba kemungkinan telah bergabung dengan etnis-etnis yang lain di sekitarnya. "Bisa jadi dari Sumatera Barat dan lain lain. Lalu kemudian mereka membentuk populasi sendiri di sekitar hutan", ujar Aik.

Selain itu, merujuk pada studi Lembaga Eijkman, Aik heran mengapa populasi Orang Rimba menurun drastis dalam 50 tahun terakhir. "Mungkin ini bersesuaian dengan cerita perubahan ekologi yang masif pada periode-periode itu", kata Aik.

Padahal, menurut Akhmad Arif, ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, beberapa etnis termasuk Orang Rimba telah mampu beradaptasi dengan lingkungan hutan. Lalu ketika kemerosotan populasi terjadi hanya dalam waktu 50 tahun, diduga adanya faktor eksternal. Pasalnya, Orang Rimba memiliki adaptasi DNA yang luar biasa, termasuk menghilangkan mutasi gen yang merugikan.

"Mereka sebenarnya populasi kecil yang melakukan inbreeding (perkawinan dekat), namun ternyata jarang Orang Rimba mengalami kecacatan fisik. Ini artinya, daya adapatasi mereka cukup bagus", ungkap Aik.

Di sisi lain, temuan Eijkman bersama Warsi di 2015 memperlihatkan prevalensi  Hepatitis B sebesar 33,9 persen dari 583 Orang Rimba yang diperiksa. Penyakit yang menjangkiti sepertiga dari populasi Orang Rimba itu dapat menyebabkan kanker hati.

"Ditengah adapatasi yang positif, ternyata cukup mengkhawatirkan ketika prevalensi hepatitis B dan malaria cukup tinggi, dan mungkin yang tertinggi di Indonesia", kata Akhmad Arif.

Akhmad Arif berkeyakinan, penyakit-penyakit itu dibawa oleh orang luar yang berinteraksi dengan Orang Rimba. "Dulu mereka tidak divaksin, tidak masalah, karena tubuh mereka mampu beradaptasi dan melakukan seleksi alam. Lalu muncul penyakit baru. Akhirnya yang tidak mampu beradaptasi, bisa jadi hilang", ungkap Aik.

Keterbukaan akses dalam 50 tahun terakhir, interaksi yang masif, hingga terbukanya ruang hidup Orang Rimba dari yang sebelumnya terisolasi, menurut Aik, berpotensi memperbesar kerentan itu.

Selain itu, Akhmad Arif mengkhawatirkan kerentanan yang bukan hanya soal adaptasi tubuh, tetapi juga kerentanan sosial ekonomi. Ketika model pembangunan seperti sekarang terus dipaksakan, keberadaan Orang Rimba pasti terancam.

"Pada akhirnya, yang kita lihat adalah penyempitan ruang hidup, yang membawa kekhawatiran terhadap hilangnya Orang Rimba", ujar Aik.

Ancaman Etnosida
Semakin luasnya alih fungsi hutan alam menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Jambi membuat Orang Rimba terdesak. Jika dibiarkan, mereka terancam mengalami Etnosidadalam beberapa tahun ke depan.

"Nah yang paling buruk, yang kami cemaskan adalah apa yang kami sebut dengan Etnosida. Jadi secara etnis pada akhirnya mereka akan Musnah", Ujar Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf.

Etnosida merujuk kepada eksterminasi budaya nasional sebagai komponen genosida. Bartolomé Clavero membedakannya dengan menyatakan, Genosida membunuh orang, sementara Etnosida membunuh budaya sosial melalui pembunuhan jiwa-jiwa individual.

Dugaan Etnosida menguat, pasca temuan KKI Warsi, dimana banyak Orang Rimba telah keluar dari kawasan hutan alam (TNBD) dalam 1 dekade terakhir. Mereka memilih tinggal di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera, di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Bungo.

Kehidupan ekonomi mereka juga buruk, karena kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun sawit/ karet, penjual obat tradisional, atau dimobilisasi pemilik modal untuk berburu satwa liar.

KKI Warsi juga mencatat, sedikitnya ada 10 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Total keseluruhan areal HTI 318.648 hektar, dimana sebagian merupakan kawasan hunian dan sumber mata pencarian Orang Rimba.

Belum lagi, hutan di Jambi beralih fungsi sebagai areal transmigrasi. Sejak 1968, pemerintah menempatkan sedikitnya 600.000 pendatang yang sebagian besar dari Jawa, hidup bersama 1.600 orang rimba.

Kebijakan itu sempat menimbulkan gegar budaya bagi Orang Rimba. Mereka yang semula terbiasa hidup berburu dan meramu, dipaksa menjalani kehidupan modern.

Ini secara tidak langsung menghancurkan akar budaya Orang Rimba. Karena itu, Rudi Syaf menekankan, apa yang terjadi pada Suku Sakai di Riau, kemungkinan juga dialami Orang Rimba.

"Hari ini, bisa dibilang kita tidak akan menemukan Suku Sakai. Karena umumnya sudah menyebut dirinya Melayu. Nah itu kan, berarti sifat keetnisannya hilang dan ini yang kami cemaskan pada Orang Rimba", papar Rudi Syaf.

Pendampingan Warsi
Saat membawakan presentasi berjudul 'Masyarakat Tiang Utama Konservasi', Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi menyebut Warsi sebagai NGO telah mendampingi Orang Rimba dalam 30 tahun terakhir.

"Ketika memulainya di tahun 1991, kami mencoba merawat apa yang ada di Orang Rimba, ketika mereka mampu melakukan enrichment terhadap alam", ujar Rudi Syaf

Selama ini Orang Rimba mengenal istilah-istilah, seperti Bukit Bedewo, Imbo Larangan, Imbo Prabukalo, Imbo Pusako, dan Imbo Hulu Air. "Itu merupakan penamaan untuk kawasan hutan alam, yang mereka jaga", kata Rudi.

"Apakah dijaga untuk keperluan air, untuk masa depan anak cucu, atau dijaga untuk pemanfaatan sumber daya alam non kayu. Mereka sangat memperhatikan alam", lanjut Rudi.

Kendati demikian, Rudi juga menemukan potensi terdegradasinya kearifan lokal Orang Rimba. Terbukti, mereka yang selama ini arif mengelola hutannya, tidak mampu menahan laju penghancuran, lewat alih fungsi lahan.

"Nah, kami mencoba bersama sama masyarakat, untuk paling tidak kita bisa pertahankan", kata Rudi.

Selain itu, KKI Warsi juga berupaya agara Orang Rimba mendapatkan pengakuan negara melalui batas hutan adat. Orang Rimba perlu diakui, termasuk juga oleh masyarakat desa yang ada di luar mereka.

"Kemudian Warsi membuat motto adalah Konservasi Bersama Masyarakat", kata Rudi Syaf.

Menurut Rudi, tagline itu sengaja digaungkan, karena pada medio 80-an, ada taman nasional besar, yaitu TN Kerinci Seblat meliputi empat provinsi (Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Bengkulu) memiliki luas 1,4 juta Ha yang didalamnya terdapat masyarakat adat.

"Saat itu, pengelolaan kawasan konservasi konsepnya seperti botol. Jadi tidak boleh ada orang berintraksi di taman nasional. Satu Ranting patah, itu sudah pelanggaran", pungkas Rudi.

Lalu KKI Warsi hadir di kawasan konservasi untuk mendorong penguatan masyarakat lokal, termasuk Orang Rimba, karena merekalah yang menjadi  garda terdepan dalam mengamankan kawasan hutan.

Pentingnya Resource Enrichment
Ketika Orang Rimba mampu bertahan dikala pandemi, dengan mempraktikkan kearifan lokal, Emil Salim, tokoh lingkungan Indonesia menyebutnya sebagai Resourse Enrichmentatau pengayaan sumberdaya alam hayati.

Disaat pandemi, alam terlihat membaik, ditandai langit biru, udara bersih, lubang ozon mengecil, laut semakin bersih, dan ikan-ikan berhasil tumbuh. Menurut Emil Salim, itu membuktikan jika alam mampu melakukan rehabilitasi.

"Mengapa Alam membaik? Karena kegiatan manusia berhenti. Dan alam membaik karena pola manusia yang berbangun dengan pola ekonominya berubah", ujar Emil Salim.

Ketika orang memilih diam rumah, tidak melakukan mobilitas, lalu mengambil jarak, praktis pembangunan gaya lama berhenti. "Jadi ada dua kontras, di tahun 1970 (peringatan Hari Bumi pertama), alam rusak dan masyarakat ekonominya booming/ naik. Di tahun 2020, alam membaik, manusia babak Belur", papar Emil Salim.

Dari situ, Emil Salim menarik pelajaran berharga, bahwa membangun di masa depan, yakni alam tetap terjaga, dimana membangun tidak bersifat eksploitasi, namun melakukan enrichment, atau memperkaya sumber daya alam.

"Jadi pola pembangunan kedepan, manusia perlu mengembangkan ekonominya dengan membuat sejumlah perubahan", kata Emil Salim.

Karena itu, di momen Hari Bumi ke-50, Emil Salim meminta setiap orang melakukan refleksi tentang social/ physical distancing, belajar/ bekerja dari rumah dan dampaknya terhadap Bumi. "Ini pelajaran penting dari hari Bumi sekarang ini", katanya.

Apa yang dilakukan Orang Rimba, tentang memanfaatkan alam tanpa merusak, namun malah memperkaya alam, menurut Emil Salim sebagai praktik enrichment yang sesungguhnya.

"Dari Orang Rimba kita belajar cara memperlakukan alam. Eksploitasi yang merusak, memeras, menggali, menghantam menjadi memperkaya. Itu memerlukan ilmu yang harus kita gali tanpa merusak alam", pungkas Emil Salim.

Bagi Emil Salim, resource (sumber daya) harus diperkaya, tidak hanya berbicara tentang sumber daya alam, tetapi juga sumber daya manusia. Karena itu, ilmu pengetahuan perlu dikembangkan, termasuk dengan menggali kearifan lokal yang ada di Indonesia.

Setuju dengan konsep Resource Enrichment, Akhmad Arif, penulis buku 'Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas' menilai pandemi sebagai momen yang pas untuk berubah. Momentum untuk belajar dari kesalahan masa lalu, karena sejatinya  ekonomi mampu selaras dengan lingkungan, juga bisa selaras dengan dengan kemanusiaan.

"Dan ada banyak model yang mendukung itu. Ini yang seharusnya kita kedepankan", ujar Akhmad Arif.

Ketika, Orang Rimba memiliki pengetahuan lokal dan mampu bersinergi dengan alam serta terbukti mampu beradaptasi dalam waktu lama, maka Aik menyebutnya sebagai: "pengalaman berharga dan menjadikan kita lebih hormat terhadap alam, termasuk kepada mereka yang memiliki pengetahuan lebih dari kita".
Hal ini penting, karena kita sedang mengalami masalah yang sama yaitu kehancuran Bumi, dan pandemi menurut Akhmad Arif seharusnya membuka mata kita, bahwa salah kelola alam mengakibatkan kita mengalami bunuh diri ekologi.

"Pada gilirannya, bukan hanya mengancam populasi kita, tetapi juga populasi spesies yang ada di Bumi, termasuk mereka yang merupakan penjaga rimba terakhir", pungkas Aik.***
-->

Bencana Longsor di Bogor Telan Satu Korban Jiwa

$
0
0
BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM- Satu warga dilaporkan meninggal dunia dalam peristiwa bencana alam tanah longsor yang terjadi di Desa Wangunjaya, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/5).

Menurut laporan yang disampaikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, satu warga tersebut diduga tertimbun material longsoran setinggi empat meter dan belum ditemukan.

Selain itu, bencana alam yang dipicu oleh intensitas hujan tinggi dan kontur tanah yang labil juga menyebabkan empat warga mengalami luka-luka. Mereka sudah mendapatkan penanganan medis.

Kemudian bencana tersebut juga mengakibatkan rumah milik 14 Kepala Keluarga (KK) dan 51 jiwa rusak berat, 1 majilis jami terancam dan 2 unit fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) juga rusak berat.

Adapun sebanyak 69 KK/242 jiwa terpaksa mengungsi ke lokasi yang lebih aman.

Hingga siaran pers ini diturunkan, Tim Reaksi Cepat BPBD Kabupaten Bogor dibantu Dinas PUPR Kab bogor, Babinsa, Aparat desa setempat, Linmas desa, Satpol PP, Babinmas dan masyarakat setempat telah melakukan upaya lebih lanjut untuk pendataan dan evakuasi korban.

Selain itu pihak desa dan masyarakat setempat juga membangun Posko Darurat,Dapur umum, dan Posko Kesehatan. Sementara itu, para warga terdampak membutuhkan kebutuhan dasar berupa logistik tanggap darurat.(Wan)
-->

Banjir Bandang Terjang Paya Tumpi Aceh Tengah

$
0
0
ACEH, BERITALINGKUNGAN.COM Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) melaporkan telah terjadi bencana alam banjir bandang di Desa Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Rabu (13/1) pada pukul 15.00  WIB.

Peristiwa tersebut dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi ditambah kondisi tanah perbukitan yang labil. Akibatnya air beserta lumpur mengalir deras membawa material lain bahkan sejumlah kendaraan juga turut terseret.

Kepala Pelaksana BPBA, Sunawardi segera mengambil tindakan setelah mendapat laporan dengan menerjunkan tim untuk kaji cepat dan mendata korban jiwa serta kerugian. laporan.

“Kami sedang menunggu tim kaji cepat dari Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Aceh Tengah untuk mendata korban jiwa, rumah yang terdampak maupun dampak materil lainnya,” jelas Sunawardi M

Dalam keterangan terpisah, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Aceh Tengah, Ishak menyebutkan bahwa bencana tersebut berdampak pada sedikitnya tiga desa yakni Kp. Paya Tumpi Baru, Kp. Paya Tumpi Induk dan Kp. Daling Bebese.

Selain itu banjir bandang juga menyebabkan ruas jalan Takengon menuju Bireun dan beberapa jalan di sekitarnya terputus.

Pihaknya sedang berupaya membuka jalur tersebut agar akses jalan kembali normal.

“Pada saat ini kami sedang melakukan pembukaan jalan yang tertimbun (material lonsor) agar akses jalan kembali normal dan membentuk posko pengunsian untuk dua kampung, yakni Tumpi Induk dan Paya Tumpi Baru,” jelas Ishak.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menerjunkan Tim Reaksi Cepat (TRC) sebanyak empat orang untuk membantu proses kaji cepat dan keperluan mendesak lainnya. (Wan)

-->

Orang Rimba Kembali Alami Perlakuan Tidak Menyenangkan

$
0
0
Orang rimba. Foto : Warsi.
 
MERANGIN, BERITALINGKUNGAN.COM- Orang Rimba Rombong (kelompok) Sikar di Sungai Mendelang Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin, Jambi, yang  tinggal di kawasan kebun PT Sari Adytia Loka Astra Group, mengalami perlakuan tidak mengenakkan.

Kejadian itu bermula pada Selasa, 12 Mei 2020, ketika Orang Rimba yang terdiri dari Begendang, Parang, Bujang Kecik, Mak Erot, Betenda, Nenek, Natas dan Ebun berencana berburu sambil memungut 'brondolan', atau buah sawit yang jatuh dari tandannya.

Orang Rimba sering mengambil brondolan, karena mereka memang tinggal di dalam kawasan perkebunan sawit. Ketika ingin mengumpulkan brondol, mereka dihadang oleh satpam perusahaan. Mereka diminta segera meninggalkan lokasi.

“Kami disuruh putar balik, kami nurut baelah (ikut saja),”kata Begendang.

Saat bergerak pulang, satpam perusahaan terus saja mengikuti. Di perjalanan muncul keributan antara Orang Rimba dengan Satpam, ditengarai akibat perlakuan yang kurang mengenakkan. Keributan berujung pada bentrok fisik.

Tidak berhenti sampai disitu, keributan terus berlanjut hingga ke permukiman Orang Rimba di Sungai Mendelang. Akibatnya sudung (pondok) dan pakaian Orang Rimba dirusak. 

“Termasuk satu motor Kanti ikut dibawa orang itu,” kata Tumenggung Sikar, pimpinan Orang Rimba Sungai Mendelang. Motor Orang Rimba yang dibawa itu, kabarnya diserahkan ke kantor polisi setempat.

Menurut Sikar, Orang Rimba mengambil brondol, karena perkebunan tersebut berdiri di hutan yang dahulunya rumah mereka. Secara sepihak perusahaan menggantinya dengan sawit, sehingga Orang Rimba yang sudah di sana tetap bertahan di bawah batang-batang sawit.

“Kami sudah kehilangan sumber penghidupan kami, hopi ado nang bisa di makon, apolagi musim sakin mumpa nio, hopi ado nang membeli bebi kami (tidak ada yang bisa dimakan, sejak musim wabah, tidak ada yang membeli babi),” papar Sikar.

Persoalan Orang Rimba dengan perusahaan PT SAL sudah terjadi sejak lama (baca: tahun 1990-an). Konflik terjadi sejak hutan yang sejatinya merupakan rumah nyaman bagi Orang Rimba, kemudian berubah menjadi kebun sawit tanpa memperhitungkan Orang Rimba yang ada didalamnya. Akibatnya konflik berkepanjangan terus terjadi.

“Kami sangat menyayangkan, persoalan ini terus berulang karena ketidakpekaan perusahaan dengan Orang Rimba yang ada di dalam perusahaan mereka,”kata Robert Aritonang Antropolog KKI Warsi.

Robert menilai persoalan mendasar dari konflik ini adalah ketidakadilan yang diterima Orang Rimba. Mereka tidak dijadikan sebagai bagian dari perubahan yang dilakukan di hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka,”kata Robert.

Jika dilihat kasusnya, menurut Robert, seolah Orang Rimba yang dianggap mencuri dan perusahaan bisa sewenang-wenang memperlakukan mereka. Mulai dari menghancurkan rumahnya hingga mengambil sepeda motor Orang Rimba.

“Orang Rimba diperlakukan seolah tidak ada harganya. Perlakuan mereka pada Orang Rimba benar-benar telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegas Robert.

Jika tidak diakhiri, Robert khawatir, nasib yang dialami Kelompok Sikar, akan terus berulang. Ruang hidup Orang Rimba terus dipersempit. “Akan terus berulang, bentrok hari ini, besok bentrok lagi, diselesaikan, akan terus berulang, karena inti persoalannya tidak pernah disentuh,”katanya.

Data KKI Warsi menyebut Orang Rimba di Jambi yang hidup dalam perkebunan sawit sebanyak 441 keluarga dan 230 lainnya di dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI).

“Mereka merupakan kelompok rentan dan mengalami kesulitan melanjutkan hidup, kesulitan mendapatkan pangan yang baik dan kesulitan meningkatkan derajat kehidupan melalui pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai,”ujar Robert.

Karena itu, Robert berharap negara hadir memberikan jaminan bagi Orang Rimba, sebagaimana jaminan diberikan pada masyarakat lainnya. “Apalagi di musim pandemi ini, Orang Rimba sangat rentan terhadap wabah, juga sangat rentan mengalami kesulitan pangan", ujarnya.

Perusahaan seharusnya melindungi Orang Rimba, bukan malah menindas mereka, karena menurut Robert, perusahaan yang hadir di hutan mereka, bukan sebaliknya.

"bukan Orang Rimba yang menumpang di situ, itu yang harusnya di pahami perusahaan,”pungkas Robert. (Jekson Simanjuntak)
-->

Perselisihan Orang Rimba dan Sekuriti PT SAL Berujung Damai

$
0
0

MERANGIN, BERITALINGKUNGAN.COM- Perselisihan antara tiga sekuriti PT Sari Aditya Loka (SAL) Jambi dengan sekelompok Orang Rimba, berakhir damai. Masing-masing pihak sepakat untuk berdamai dan berjanji akan menjaga keamanan di lingkungan masing-masing serta akan menahan diri.

"Sudah selesai sebenarnya, karena kita juga tahu, mereka perlu kita bina. Semua stakeholderitu selalu kita usahakan untuk berdamai. Kita tidak pernah memperpanjang atau memperumit persoalan", tegas Manajer Hubungan Masyarakat PT SAL, Mochamad Husni kepada Beritalingkungan.com.

Mengingat Orang Rimba merupakan komunitas yang perlu didampingi, karena tinggal di kawasan perkebunan sawit milik PT SAL, menurut Husni, mereka tidak akan menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

"Artinya, kalau melewati jalur musyawarah selesai, berarti ya sudah. Alhamdulillah orang rimba dan kepolisian juga telah sepakat", ujar Mochamad Husni melalui sambungan telepon pada Minggu, (17/5).

Menurut Husni, pihak perusahaan tidak berniat melibatkan pihak kepolisian di kasus ini, namun hal itu semata-mata demi meminimalisir dampak ikutan yang akan terjadi, karena keributan telah melibatkan masyarakat sekitar.

"Sekuriti kita ada yang berasal dari masyarakat sekitar. Waktu dia lihat warganya kena, karena sekuriti itu cerita, dan pelakunya diduga Orang Rimba, maka masyarakat marah", kata Husni.

Kemarahan itu yang mendorong warga meminta pertanggungjawaban dari Orang Rimba. Dalam waktu singkat, sebanyak 80 - 100 orang mencari dan mengejar Orang Rimba hingga ke permukimannnya.

"Kita khawatir terjadi keributan dan berakibat lebih parah, perwakilan dari kita (PT. SAL) melapor ke kepolisian. Dari situ polisi terlibat dan melakukan usaha perdamaian", ungkap Mochamad Husni.

Saat kejadian, 11 Sudung (rumah) Orang Rimba ikut menjadi korban. Akibatnya, mereka tidak memiliki tempat tinggal. Tak hanya itu, motor Orang Rimba juga ikut dibawa ke kantor polisi.

"Soal motor yang disita atau yang dibawa ke kantor polisi saya kurang paham, tapi kalau dari cerita yang saya dengar, karena warga sudah marah, mereka bereaksi sendiri", ungkap Husni.

Kesepakatan damai antara Orang Rimba dengan sekuriti PT Sari Aditya Loka (SAL) berlangsung di Mapolres Merangin. Dua perwakilan dari Orang Rimba, yakni Sikar dan Pakjang secara terbuka mengakui adanya pemukulan terhadap security PT SAL.

Menurut Husni, perwakilan Orang Rimba meminta maaf kepada manajemen PT SAL dan berjanji membina warganya agar tidak melakukan tindak pidana maupun tindakan lain yang meresahkan.

Perdamaian itu disaksikan Kapolres Merangin AKBP Mokhamad Lutfi SLK dan Dandim 0420 Sarko Letkol Inf Tommy Radya Diansyah Lubis S.Ap.M. Han. Sementara saksi dari Pemerintahan, diantaranya Kadis Sosial PPK Kabupaten Merangin Junaidi dan Sekcam Tabir Selatan Afrizal.

Kronologis Kejadian

Di laman media sosialnya, KKI Warsi menyebut Orang Rimba kelompok Sikar di Desa Muara Delang Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari sekuriti PT Sari Aditya Loka (SAL) Astra Group. Sebanyak 11 pondok Orang Rimba ikut dirusak.

Ditengarai kejadian itu bermula, saat Orang Rimba berniat mengambil brondol di kebun milik perusahaan yang kemudian dijual dengan harga Rp 800 per kilogram.

Atas insiden itu,Manajer Hubungan Masyarakat PT SAL, Mochamad Husni menyebut ada kesalahan persepsi yang berpotensi menyesatkan publik. Menurut Husni, penyerangan Orang Rimba oleh Security PT SAL tidak benar dan cenderung menyudutkan petugas security yang bertanggung jawab terhadap keamanan perkebunan kelapa sawit.

Peristiwa itu sendiri bermula pada malam tanggal 12 Mei 2020, ketika 2 sekuriti melakukan patroli di perbatasan kebun inti PT SAL dengan kebun Plasma KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota).

Saat berpatroli, petugas bertemu dengan 5 Orang Rimba kelompok Sikar yang membawa 5 unit motor berkeranjang. Anggota sekuriti mencoba berdialog dan menyampaikan pesan bahwa selain karyawan tidak diperbolehkan memasuki perkebunan.

"Saat didekati, mereka (Orang Rimba) langsung menyerang", kata Husni.

Padahal, menurut Husni, saat itu sekuriti ingin menyampaikan  protokol pencegahan Covid-19 yang diterapkan PT SAL. "Demi mencegah setiap orang (termasuk Orang Rimba) dari kemungkinan terinfeksi virus atau menginfeksi orang lainnya", ujarnya.

Namun, yang terjadi justru di luar dugaan, petugas sekuriti diserang dengan batu Saat itu, pertengkaran berhasil dihindari dan Orang Rimba mengikuti arahan untuk segera membubarkan diri.

"Saya tidak menyebut mereka akan mencuri brondol. Yang pasti, mereka masuk ke kebun bawa motor, bawa keranjang. Mungkin saja mereka sambil lewat, namun saat didekati, mereka langsung bereaksi seperti itu", ungkap Husni.

Lalu, ketika malam semakin larut, sesuai jadwal anggota sekuriti bertambah 3 orang, sehingga total ada 5 orang. "Karena kebun kita luas dan tidak ada pagarnya. Dan malam itu, biasanya sesuai jadwal, ada tambahan tenaga pengamanan", papar Husni.

Saat melanjutkan patroli, sekuriti dihadang oleh 8 Orang Rimba, dan terjadilah perkelahian. Tidak diketahui apakah 8 orang tersebut merupakan Orang Rimba yang sebelumnya terlibat cekcok.

Yang pasti, menurut Husni, para sekuriti dipukul hingga babak belur, bahkan ada yang diceburkan ke parit. Untuk menghindari perkelahian, sekuriti memilih mundur dan menuju ke pos terdekat.

Di pos, para sekuriti bertemu dengan warga yang kebetulan melintas. Warga tersulut emosi, saat mengetahui ada anggota sekuriti yang menjadi korban, yang ternyata warga desa mereka.

Kemarahan itu mendorong warga menyerbu permukiman Orang Rimba hingga merusak 11 pondok. Saat menyaksikan kemarahan warga, pihak perusahaan (PT SAL) menghubungi Polsek setempat, agar tidak terjadi perkelahian lebih lanjut.

Peduli Orang Rimba

Musyawarah dan mediasi sengaja diupayakan PT SAL, agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut, sehingga Orang Rimba dan warga desa di sekitar perusahaan hidup rukun kembali.

"Selama ini, kita juga sangat akrab dengan mereka dan telah melakukan pembinaan. Apalagi di tengah pandemi yang mengharuskan semua pihak bekerja sama lebih erat", ujar Mochamad Husni, Manajer Hubungan Masyarakat PT SAL.

Khusus terkait pandemi, PT SAL telah memberikan bantuan untuk meringankan beban Orang Rimba. "Untuk masa sekarang ini, bantuan pangan juga kita kasih. Kita berikan ke mereka", ujarnya.

Bantuan sengaja diberikan, karena dikhawatirkan Orang Rimba mengalami kesulitan pangan dimasa pandemi ini. Husni menyebut, hal itu sebagai problem pangan yang mungkin dialami oleh kebanyakan Orang Rimba.

"Ingin saya dijelaskan bahwa problem itu memang ada. Makanya kita kasih bantuan. Kita kasih pendekatan-pendekatan kepada mereka", ujar Husni.

Tidak hanya di masa pandemi, pihak PT SAL juga berkomitmen meningkatkan kesejahteraan Orang Rimba yang diwujudkan melalui program-program Corporate Social Responsibilty (CSR).

"Selama ini perusahaan aktif kerja sama dengan Orang Rimba. Baik melalui program-program peningkatan lingkungan, ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan", kata Husni.

Hal itu dilakukan PT SAL, karena menyadari bahwa lingkungan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan.

"Untuk lingkungan, kita melakukan treatment, yang sebenarnya tidak 100% profit, dimana untuk Suku Anak Dalam kita mendisain program social responsibility, yang juga sama seperti di tempat lain", kata Husni.

Sementara dari sisi ekonomi, menurut Husni, perusahan telah mengajarkan tentang cara bercocok-tanam, termasuk juga bagaimana menanam kelapa sawit.

"Kemudian dari sisi pendidikan, kita punya sekolah. Disini kita membina Suku Anak Dalam menjadi guru bagi komunitas mereka" papar Husni.

Sementara terkait kesehatan, Husni menyebut Orang Rimba perlu dipahami dengan baik, karena mereka memiliki budaya dan kondisi hidup yang unik. Itu sebabnya, PT SAL membuat program khusus terkait kesehatan Orang Rimba.

"Bantuan yang diberikan kepada Oang Rimba tidak hanya kepada rombong pak Sikar tapi juga kepada rombong-rombong lain, dan jumlahnya juga sama", ujar Husni.

Pada intinya, menurut Husni, sesuai dengan visi misi PT SAL, kehadiran mereka di permukiman Orang Rimba, tidak hanya untuk mencari keuntungan, namun memberi dampak positif, tidak hanya bagi Orang Rimba namun juga masyarakat sekitar. (Jekson Simanjuntak)
-->

Cerita Kemandirian Desa Panggungharjo Hadapi Pandemi dengan Kearifan Lokal

$
0
0

JOGJA, BERITALINGKUNGAN.COM- Pemerintah Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta sejak dini mengantisipasi dampak penyebaran COVID-19 di wilayahnya. Salah satunya memperkenalkan pranata sosial baru kepada warganya.

Pandemi COVID-19 ini telah terdampak pada segala aspek kehidupan masyarakat. Warga Desa Panggungharjo memilih untuk tidak menyerah. Pemerintah desa mengajak warga untuk beradaptasi dengan situasi dengan melakukan pendekatan kreatif. Kombinasi antara kapasitas politik dan birokrasi di tingkat pemerintah desa dan kapasitas sosial memunculkan pendekatan humanis dalam menyikapi pandemi.

“Kita coba untuk mengkombinasikan antara kapasitas politik dan birokrasi yang ada pemerintahan desa dengan kapasitas sosial yang ada di warga masyarakat desa,” ujar Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi melalui dialog ruang digital pada Selasa (19/5).

Pemerintah desa telah mengantisipasi dampak penyebaran COVID-19 sejak 16 Maret 2020 atau sekitar 2 minggu setelah kasus positif pertama diumumkan Presiden Joko Widodo.  Ia dan aparat desa segera membentuk satuan gugus tugas, dengan nama Panggung Tanggap Covid.

Melalui gugus tugas tersebut, ada dua langkah yang diterapkan, yakni lapor dan dukung. Lapor dimaksudkan untuk mengidentifikasi dampak yang dihadapi warga desa.

“Modul lapor ini dalam kerangka mengidentifikasi, memetakan kira-kira dampak apa yang akan dihadapi oleh warga masyarakat desa. Dari sini, teridentifikasi tiga dampak yang dirasakan oleh warga masyarakat desa, baik dari aspek klinis, ekonomi dan sosial,” tambah Wahyudi.

Sedangkan dukung, pihaknya dibantu dengan pendataan yang lebih baik, seperti kategorisasi risiko dan intervensi yang dibutuhkan.

Upaya pemerintah desa ini dibarengi dengan langkah mitigasi dampak sosial. Wahyudi menjelaskan bahwa tantangan yang dialami dalam konteks kesehatan masyarakat yakni kesadaran kolektif untuk menghadapi krisis. Ia berharap di antara warga masyarakat muncul persamaan persepsi terhadap situasi pandemi.

“Jangan panik dan jangan abai,” tambah Wahyudi untuk menyikapi pandemi sejak awal.

Stabilitas yang ditemui di Desa Panggungharjo tidak terlepas dari upaya membangun pranata sosial baru.

“Kedua, yaitu upaya kita untuk mendorong warga masyarakat di tingkat dukuh untuk membangun pranata sosial baru untuk mengatur pola relasi sosial karena banyak sekali kegiatan yang dalam situasi normal itu bisa dilaksanakan tapi dalam situasi pandemi ini tidak dapat dilaksanakan, misalnya terkait dengan pemakanan, peribadatan, budaya dan keagamaan, termasuk menerima tamu dan sebagainya,” jelasnya.

Masyarakat desa membangun terwujudnya pranata sosial baru ini sejak awal Maret lalu. Melalui nilai-nilai baru tadi, potensi konflik sosial dapat diminimalkan. Misal, pasien COVID dapat diterima baik oleh warga masyarakat bahkan mereka disambut dengan selawatan. 

“Ini membangun relasi sosial yang baik dan dibutuhkan pada situasi masa kinim” ucapnya.

Tak hanya aspek sosial, Pemerintah Desa Panggungharjo melakukan pendekatan berbasis ekonomi lokal. Bantuan yang tak seberapa dikelola dengan dukungan bantuan warga untuk membantu warga lain yang membutuhkan.

“Hingga hari ini kami telah mendistribusikan lebih dari 4.000 paket sembako, sedangkan dari pemerintah sendiri 2.800-an ini diinisiasi dari warga desa,” kata Wahyudi.

Ia dan warganya sepakat untuk memaksimalkan nilai manfaat atas dana desa dengan cara ‘memaksa’ penerima BLT Dana Desa. Mereka yang tidak menerima bantuan mendapatkan manfaat dengan cara warga penerima bantuan membelanjakan dana pada warung atau toko tetangga.

“Harapannya ekonomi lokal hidup, tidak boleh uang yang diterima dibelanjakan di retail moderen,” ucapnya. (Wan)
-->

Kontrol Pemerintah dan Kesadaran Bersama Dukung Pengaturan Sosial Selama Pandemi

$
0
0

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Beberapa daerah menetapkan peraturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menghadapi penyebaran COVID-19. Di sisi lain, pemerintah daerah menerapkan pembatasan dengan pendekatan berbeda, seperti pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) di Provinsi Jawa Tengah.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan bahwa kunci dari pengaturan di tengah pandemi ini adalah kontrol pemerintah dan kesadaran masyarakat. Ia mencontohkan Bupati Banyumas melakukan kontrol dengan hadir langsung di antara warga masyarakat.

“Bupati keliling setiap siang dan malam. Kehadiran pemimpin untuk melakukan kontrol,” ujar Ganjar melalui ruang digital pada Selasa (19/5).

Ia menambahkan bahwa upaya lain untuk menekan penyebaran dengan dukungan penuh banyak pihak. Apa pun bentuk kebijakannya, seperti PSBB atau PKM, membutuhkan dukungan dari warganya.

“Membangun kesadaran bersama. Kunci ada di sana,” ujarnya.

Ganjar menyampaikan bahwa upaya mengedukasi kepada masyarakat sangat perlu dilakukan sehingga mereka memiliki literasi cukup tentang COVID-19.

“Sebenarnya yang dibutuhkan hari ini literasi cukup tentang Covid, bagaimana sikap masyarakat bisa berubah,” ungkap Ganjar.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah aktif untuk melakukan upaya-upaya pendekatan terhadap masyarakatnya, seperti dua pendekatan. Pendekatan yang dimaksud yakni persuasi atau edukasi dan regulasi. Menurutnya, regulasi yang diterapkan sebagai perangkat untuk social engineering.

Sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, Ganjar menyampaikan kepada bupati dan walikota untuk berkreasi. Prinsip yang harus dilakukan yaitu warga selalu memakai masker, jaga jarak dan sering cuci tangan memakai sabun.

“Intinya harus imun, sehat,” tambahnya.

Menyikapi apakah daerahnya akan melakukan PSBB atau tidak, Ganjar meminta untuk kepala daerah menghitung betul segala aspek, seperti anggaran, keamanan dan transportasi. Di sisi lain, yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan kota menyangkut aspek sosial.

“Apabila PSBB ini merupakan langkah yang baik, saya meminta mereka untuk betul-betul menghitung segala aspek yang ada di sekitarnya, terutama aspek sosial, orang di rumah, work from home, stay at home, kemudian juga tidak bekerja itu klenger, bosen, njelehi. Guru-guru juga memberi PR kebanyakan, muridnya stres, orang tua juga stres karena pelajarannya sulit tidak seperti dibayangkan orang tuanya,” ucapnya.(Wan)
-->

Warga Patuhi Protokol Penanganan COVID-19 Bantu Putuskan Mata Rantai Penyebaran Corona

$
0
0

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Vaksin COVID-19 belum ditemukan hingga kini. Syarat tersebut menyebabkan tidak satu pun yang dapat memprediksikan waktu yang tepat penyebaran virus SARS-CoV-2 akan berakhir.

Menyikapi kondisi tersebut, respons fundamental yang mampu memutus rantai penyebaran yaitu kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi peraturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan hingga protokol penanganan COVID-19 merupakan koridor regulasi untuk memberikan respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, kesadaran kolektif masyarakat dan semua pihak merupakan syarat mutlak.

Badan PBB untuk Kesehatan Dunia atau WHO masih memberlakukan status pandemi hingga saat ini. Status pandemik sejak 12 Maret 2020 lalu dan penyebaran virus yang nyata mendorong negara-negara menutup batas negara. Dalam wilayah kedaulatan negara Indonesia, strategi pemutusan mata rantai penyebarannya menggunakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.

PSBB memiliki definisi pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19. PSBB ini mengatur peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Sampai saat ini pemerintah tidak menerapkan pelonggaran PSBB dan melarang mudik. Kunci keberhasilan penanganan COVID-19 ini adalah memperkuat modalitas sosial melalui gotong royong pada unit terkecil dalam keluarga, baik wilayah yang menyelenggarakan PSBB maupun yang tidak.

Pengurangan pembatasan sosial dalam pelaksanaan protokol penanganan COVID-19 berarti akan memberikan celah virus ini untuk terus menginfeksi warga. Di sisi lain, tidak ada yang dapat menjamin bahwa seluruh masyarakat berperilaku hidup sehat dan ketat dalam menjalankan protokol penanganan COVID-19.

Virus Corona ini memiliki ukuran diameter 400-500 mikrometer atau 1.400 kali lebih kecil dari sehelai rambut manusia. Risiko mungkin tidak tampak karena ini sangat tidak kasatmata. Namun ancaman keterpaparan COVID-19 dapat terjadi di mana pun, kapan pun dan pada siapa pun.

Dapat dipahami, potensi risiko keterpaparan COVID-19 cenderung diabaikan masyarakat. Ini berdampak juga terhadap pemahaman status COVID-19 ini sebagai bencana nasional, yang telah ditetapkan Pemerintah. Pemerintah Pusat telah menetapkan pandemi ini sebagai bencana nasional, melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020, tertanggal 13 April 2020.

Ketua Gugus Tugas Nasional Doni Monardo menegaskan bahwa melalui status ini, masyarakat diharapkan dapat bersikap dan bertindak dalam konteks kedaruratan. Kepentingan keselamatan dan keamanan menjadi panduan dalam setiap aktivitas masyarakat. Ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kekarantinaan kesehataan yang merujuk pada pintu masuk dan wilayah mencakup pengamatan penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat terhadap alat angkut, orang, barang dan atau lingkungan, serta respons terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat dalam bentuk tindakan kekarantinaaan kesehatan.

Tidak hanya itu, dalam koridor kekarantinaan kesehatan, setiap individu wajib mematuhi dan aktif dalam penyelenggaraan kekarantinaan.

“Ini bermakna ada kepentingan yang lebih besar untuk diselenggarakan, yaitu keamanan dan keselamatan. Keputusan ini mendukung beberapa peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tertanggal 31 Maret 2020,” ujar Doni yang juga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam pesan digital pada Senin pagi (18/5).

Implementasi PSBB ini sebagai bagian dari konteks kekarantinaan merupakan respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Upaya penanggulangan ini dilakukan untuk penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Ketua Gugus Tugas Nasional Doni Monardo menegaskan bahwa kekarantinaan kesehatan ini adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Harus ada upaya antisipatif dan preventif untuk mencegah risiko penularan virus ke daerah lain, khususnya untuk daerah perbatasan antar wilayah dengan memperhatikan pusat moda transportasi di bandar udara, pelabuhan, stasiun kereta api, terminal bis antar wilayah, serta Pos Lintas Batas Negara.

Gugus Tugas Nasional dengan mandat sesuai Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 telah mengeluarkan surat edaran (SE). SE dengan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 sangat jelas untuk melengkapi peraturan PSBB yang telah berlaku, serta larangan mudik.

Pada SE tersebut, Gugus Tugas Nasional juga telah menjelaskan kriteria pembatasan perjalanan orang keluar atau masuk wilayah batas negara dan atau batas wilayah administratif dengan kendaraan pribadi atau sarana transportasi umum, baik darat, udara dan laut, di seluruh Indonesia.

Tentu, pembatasan sosial berdampak pada perekonomian masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah dan pemerintah daerah bekerja keras untuk mengurangi dampak, seperti dengan bantuan atau pun stimulus bantuan kepada masyarakat. Doni juga mengimbau semua aparat pemerintah hingga paling bawah, yakni RT/RW untuk membantu terhadap data keluarga yang sungguh-sunguh terdampak.

Di sisi lain, kontribusi dan sinergi multipihak untuk membantu masyarakat yang membutuhkan dukungan, khususnya individu dan keluarga dengan tingkat kesejahteraan rendah.

“Masyarakat Indonesia merupakan kapital terbesar dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Saya percaya nilai kegotongroyongan melekat erat di dalam masyarakat kita,” ujar Doni.

Doni secara serius mengharapkan peran besar masyarakat Indonesia untuk menunjukkan sikap bela negara. Kepatuhan yang tinggi terhadap protokol kesehatan dan implementasi penanganan COVID-19 akan cepat memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Perilaku adaptif dalam menghadapi tatanan kehidupan yang baru atau “Normal Baru” harus tetap mempertahankan protokol kesehatan di masa depan. Perilaku hidup sehat dengan memperhatikan 4 sehat 5 sempurna dapat ditransformasikan dengan mengajak untuk menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menkomsumsi makanan bergizi, berolah-raga, istirahat, serta tidak panik (Wan)
-->

Banjir Sumba Timur Dilaporkan Hanyutkan Dua Rumah Warga

$
0
0
SUMBA, BERITALINGKUNGAN.COM- Banjir menghanyutkan dua rumah warga Dusun Benda, Desa Kaliuda, Kecamatan Pahunga, Sumba Timur. Banjir terjadi pada Rabu dini hari (20/5), pukul 02.00 WITA.

Banjir dipicu salah satunya hujan dengan intensitas tinggi sehingga debit Sungai Pangulado meluap.

Selain menghanyutkan dua unit rumah, banjir juga merendam 44 unit rumah di dusun itu. BPBD setempat melaporkan 230 jiwa mengungsi di Balai Desa Kaliuda. Mereka masih bertahan di pengungsian sementara.

Penanganan darurat telah dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Melalui BPBD Kabupaten Sumba Timur, tim reaksi cepat (TRC) diturunkan untuk melakukan kaji cepat. Menghindari jatuhnya korban jiwa, tim juga melakukan evakuasi warga menuju tempat yang aman.
Pemerintah daerah membantu warga terdampak dengan bantuan logistik.

BPBD Sumba Timur dalam rilisnya yang diterima Beritalingkungan.com, melaporkan kondisi wilayah itu masih mendung dan berpotensi hujan pada pukul 14.00 waktu setempat. Banjir yang terjadi dini hari tadi berangsur surut dengan tinggi muka air sekitar 40 cm.

Kabupaten Sumba Timur merupakan wilayah yang memiliki potensi banjir dengan kategori sedang hingga tinggi. Berdasarkan analisis InaRISK, terdapat 16 kecamatan yang berpotensi banjir dengan luas are terdampak mencapai sekitar 75 ribu hektar.

Selain luas wilayah terdampak, fasilitas publik berupa sekolah dengan jumlah 63 unit berpotensi banjir dengan kategori sedang, dan 7 lainnya pada kategori tinggi.(Wan)
-->

Penangguhan Penahanan 3 Aktivis Kamisan Malang Akhirnya Dikabulkan

$
0
0
MALANG, BERITALINGKUNGAN.COM- Setelah upaya dari kuasa hukum LBH Surabaya Pos Malang dan desakan ribuan orang lewat petisi daring di Change.org, tiga aktivis Kamisan Malang yang ditangkap akhirnya dikeluarkan.

Alfian, Saka, dan Fitron akhirnya mendapatkan penangguhan penahanan. Senin (18/5/2020), ketiganya diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing. Proses penangguhan penahanan mereka terbilang cukup panjang. Menurut Trieva Oktaviani, Tim Kuasa Hukum dari LBH Surabaya Pos Malang, mereka sudah melayangkan surat permohonan penangguhan penahanan sejak 30 April lalu. 

Dalam surat permohonan, mereka mengungkapkan alasan-alasan agar polisi dapat mempertimbangkan penangguhan penahanan tiga aktivis tersebut.

“Alfian adalah mahasiswa semester dua dan belum seratus hari ayahnya meninggal. Kini Alfian jadi tulang punggung keluarga dengan berjualan sate. Saka juga mahasiswa yang sekaligus menjadi tulang punggung keluarganya dan harus menghidupi adik nya yang masih SD dan SMP dengan menjadi buruh di pengelola rumput laut. Sementara Fitron mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi. Dengan mempertimbangkan kondisi mereka, seharusnya permohonan penangguhan penahanan dapat dikabulkan,” jelas Eva.

Eva menjelaskan, selain kuasa hukum dan pendukung petisi Change.org, ketiga aktivis tersebut juga didukung lebih dari 100 komunitas dan NGO yang tersebar tidak hanya di Jawa Timur saja. Dalam surat penangguhan penahanan, setidaknya ada 30 orang yang menjadi penjamin, termasuk di antaranya akademisi, dosen mereka, mahasiswa, aktivis, orang tua bahkan pengasuh pondok pesantren di Jakarta. 

Lewat update di petisi, Mohammad Khalid, salah satu inisiator petisi yang bergabung di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang menyebutkan kalau ini merupakan kabar baik bagi Alfian, Saka, Fitron dan pihak keluarga. Ketiganya dapat menghabiskan sisa Ramadhan dan Idul Fitri bersama keluarga. 

Selaku teman seorganisasi di PPMI Malang, Khalid berima kasih tak terhingga kepada segenap elemen masyarakat, organisasi, komunitas, perkumpulan, kelompok, dan orang-orang baik yang sejauh ini turut terlibat dalam memberi dukungan dan solidaritas bagi  Alfian, Saka, Fitron dalam upaya mendapat keadilan. 

Namun, Khalid menyebutkan kalau proses hukum ketiganya masih terus berlanjut karena status tersangka belum dicabut. Mereka masih bertanggung jawab mengikuti proses hukum (penyidikan) hingga benar-benar selesai. 

“Sejauh ini, mereka sangat kooperatif dalam menjalankan proses hukum yang berlangsung. Semoga hal ini disambut dengan proses penegakan hukum yang baik pula oleh pihak kepolisian,” tegas Khalid.

Sebelumnya, Alfian, Saka, Fitron ditangkap 19 dan 20 April 2020 di kediaman mereka dengan tuduhan penghasutan. PPMI Malang menganggap tuduhan polisi itu mengada-ada lantas memulai petisi agar tiga aktivis itu segera dibebaskan. Polisi mengenakan Pasal 14 dan 15 UU RI No. 1 Tahun 1946 dan Pasal 160 KUHP terkait penghasutan dengan ancaman 6 tahun penjara. Namun, Tim Kuasa Hukum menganggap pasal penghasutan yang dikenakan polisi tidak tepat.

“Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pasal 160 itu delik materiil, jadi harus dibuktikan dulu akibatnya. Tapi untuk kasus ini nggak ada apa-apa akibatnya, jadi pasal ini nggak nyambung sebenarnya, kalaupun mau dikenakan pasal, lebih cocok pasal vandalisme yakni tindak pidana ringan maksimal 3 hari kurungan,” tutup Eva.(Wan)
-->

Lebih dari 200 Rumah Warga di Tulang Bawang Rusak Akibat Angin Puting Beliung

$
0
0
LAMPUNG, BERITALINGKUNGAN.COM- Pusat Pengendali Operasi BNPB melaporkan lebih dari 200 rumah warga rusak akibat angin puting beliung di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu lalu (20/5).

Perkembangan per hari ini (21/5), pukul 17.30 WIB, total rumah rusak berjumlah 233 unit. Rumah rusak berat berjumlah 65 unit, rusak sedang 27 dan rusak ringan 141. Di samping kerusakan fisik, bencana ini mengakibatkan dua orang meninggal dunia, sedangkan korban luka berat 5 orang dan 4 lainnya luka ringan.

Warga yang mengungsi masih dalam pendataan BPBD setempat. Angin puting yang berdampak pada tiga desa, Desa Tri Mulya Jaya, Desa Tri Tunggal Jaya dan Desa Dwi Warga, berada di Kecamtan Banjar A.

Wilayah yang terdampak angin puting beliung ini berada di dua kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang. Desa-desa di dua kecamatan tersebut yakni, Desa Tri Mulya Jaya, Desa Tri Tunggal Jaya dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya di Kecamatan Banjar Agung, sedangkan Desa Purwa Jaya di Kecamatan Banjar Margo.

Pascabencana, Bupati Tulang Bawang telah meninjau lokasi kejadian dan melakukan rapat koordinasi untuk penanganan darurat dengan dinas-dinas terkait.

Terkait dengan potensi bahaya serupa, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini prakiraan cuaca terkait hujan lebat disertai petir dan angin kencang yang berpotensi terjadi hingga Jumat (22/5). Wilayah yang berpotensi terdampak seperti Aceh, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung.

Menyikapi potensi tersebut, masyarakat diimbau untuk waspada terhadap potensi bahaya hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor dan angin puting beliung. (Wan)
-->

Saat Pandemi, Emisi CO2 Global Bisa Turun Hingga 7% Tahun Ini

$
0
0
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Sekelompok ilmuwan menuliskan laporannya pada jurnal Nature Climate Change yang terbit pada 19 Mei 2020. Mereka mencatat jika kondisi mobilitas dan kegiatan ekonomi di masa pandemi terus bertahan hingga pertengahan Juni, maka penurunan emisi menjadi sekitar 4%. Namun jika beberapa batasan tetap diterapkan di seluruh dunia, hingga akhir tahun, jumlahnya menjadi sekitar 7%.

"Dampak lockdown pada turunnya emisi tahunan ini diproyeksikan menjadi sekitar 4% hingga 7% dibandingkan dengan 2019, tergantung pada durasi lockdown dan tingkat pemulihan." ujar Pemimpin analisis dari Universitas East Anglia, Profesor Corinne Le Quéré menyebut

Penurunan emisi ini dinilai Corinne sebanding dengan jumlah pengurangan emisi tahunan yang dibutuhkan dari tahun ke tahun, selama beberapa dekade untuk mencapai target iklim Perjanjian Paris PBB.

Profesor Corinne Le Quéré juga menemukan emisi harian bakal merosot hingga 17% atau 17 juta ton karbon dioksida secara global selama lockdown mulai diberlakukan sejak awal April lalu. Angka itu dihasilkan setelah dibandingkan dengan tingkat rata-rata harian pada 2019.

Penelitian itu didasarkan atas kebijakan terkait lockdown di 69 negara, yang dianggap bertanggung jawab atas 97% emisi CO2 global.

Pada puncak lockdown, daerah yang bertanggung jawab atas 89% emisi CO2 global diketahui menerapkan beberapa pembatasan. Corinne memperkirakan, total perubahan emisi dari pandemi berjumlah 1048 juta ton karbon dioksida (MtCO2) hingga akhir April.

Dari jumlah itu, perubahan terbesar ada di China, di mana saat lockdown dimulai penurunan terjadi sebesar 242 MtCO2, kemudian di AS yakni sebesar 207 MtCO2, Eropa sebanyak 123 MtCO2, dan India 98 MtCO2.

"Data itu mengindikasikan seberapa besar masing-masing sektor ekonomi dipengaruhi oleh pandemi ini kemudian digunakan untuk memprediksi perubahan emisi CO2 fosil untuk tiap- tiap negara, setiap harinya dari Januari hingga April 2020", papar Corinne Le Quéré

Lebih jauh, Corinne mengistilahkan, bahwa produksi emisi karbon dioksida saat ini seakan merujuk pada posisi serupa di tahun 2006 silam. Namun, ia juga menilai analisis itu tidak hanya menunjukkan respons sosial saja, tanpa adanya peningkatan kesejahteraan dan atau infrastruktur pendukung. Artinya, tanpa disertai aksi nyata, pengurangan emisi yang lebih dalam ataupun berkelanjutan, tidak akan pernah mencapai emisi bersih nol.

Karena itu, Corinne mengimbau para pemimpin dunia untuk mempertimbangkan perubahan iklim ketika merencanakan respons ekonomi mereka setelah COVID-19. Tentu saja, karena hal itu akan memengaruhi tingkat emisi CO2 global selama beberapa dekade mendatang.

Sejauh ini, emisi dari transportasi darat, seperti perjalanan dengan mobil, menyumbang hampir setengah (43%) dari penurunan emisi global selama puncak lockdown pada tanggal 7 April. Sedangkan emisi dari industri dan pembangkit listrik bersama-sama menyumbang 43% dari penurunan emisi global harian.

Di sisi lain, penerbangan –sebagai sektor ekonomi yang paling terdampak lockdown– hanya menyumbang 3% dari emisi global, atau 10% dari penurunan emisi selama pandemi. Sedangkan meningkatnya aktivitas dari orang-orang yang bekerja di rumah hanya sedikit diimbangi oleh penurunan emisi dari sektor lain.

Jika ditilik rata-rata, masing-masing negara mengalami penurunan emisi rata-rata hingga 26% di saat puncak lockdown.

“Lockdown telah menyebabkan perubahan drastis dalam penggunaan energi dan emisi CO2. Penurunan ekstrem ini cenderung bersifat sementara, karena tidak mencerminkan perubahan struktural dalam sistem ekonomi, transportasi, atau energi,” papar Corinne Le Quéré.

Corinne Le Quéré juga menyebut, peluang untuk membuat perubahan yang nyata, tahan lama, dan lebih tangguh terhadap krisis di masa depan sangat mungkin dilakukan. Caranya, dengan menerapkan paket stimulus ekonomi yang juga membantu memenuhi target iklim, terutama untuk mobilitas, yang diketahui menyumbang setengah dari penurunan emisi selama lockdown.

“Misalnya di kota dan pinggiran kota mendukung gerakan jalan kaki dan bersepeda, dan penggunaan sepeda listrik, yang kesemuanya itu jauh lebih murah dan lebih baik untuk kesejahteraan dan kualitas udara daripada membangun jalan dan menjaga jarak sosial,” pungkas Le Quéré.

Sementara itu, Profesor Rob Jackson, Ketua Global Carbon Project dari Stanford University yang juga menjadi penulis pendamping analisis ini mengatakan, “Penurunan emisi sangat besar tetapi menggambarkan tantangan untuk mencapai komitmen iklim Paris kita"

Karena itu, Rob Jackson menekankan tentang perubahan sistemik melalui energi hijau dan mobil listrik, dan bukan pengurangan yang sementara dari perilaku yang dipaksakan.

Dalam makalah ilmiah itu, para penulis mengingatkan para pemimpin negara agar tidak terburu-buru memulai paket stimulus ekonomi, sehingga mengakibatkan emisi di masa depan menjadi lebih tinggi. Termasuk dengan menunda New Green Deals ataupun melemahkan standar emisi.

Sebelumnya, makalah tersebut dipublikasikan di Nature Climate Change dengan judul ‘Temporary reduction in daily global CO2 emissions during the COVID-19 forced confinement’. Sejumlah peneliti terlibat, seperti: Corinne Le Quéré, Robert B. Jackson, Matthew W. Jones, Adam J. P. Smith, Sam Abernethy, Robbie M. Andrew, Anthony J. De-Gol, David R. Willis, Yuli Shan, Josep G. Canadell, Pierre Friedlingstein, Felix Creutzig, Glen P. Peters.

Penelitian ini telah mendapat dukungan dari Royal Society, the European Commission projects 4C, VERIFY and CHE, the Gordon and Betty Moore Foundation, dan the Australian National Environmental Science Program. (Jekson Simanjuntak)

Tren Covid-19 Terus Meningkat, Indonesia Masih Status Darurat Bencana Nasional

$
0
0
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Penyebaran virus SARS-CoV-2 masih terjadi hingga kini. Situasi pandemi menyebabkan Indonesia masih berada dalam keadaan darurat bencana.

Meskipun status Keadaan Tertentu Darurat Bencana yang ditetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berakhir pada 29 Mei 2020, status keadaan darurat masih diberlakukan. Ini disebabkan pada peraturan yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai Penetapan Status Bencana Nonalam COVID-19 sebagai Bencana Nasional belum berakhir.

Presiden Jokowi menetapkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Status Bencana Nonalam COVID-19 sebagai Bencana Nasional pada 13 April 2020 lalu.

“Secara otomatis, status keadaan darurat bencana menyesuaikan dengan Keputusan Presiden 12 Tahun 2020. Selama keppres tersebut belum diakhiri, maka status kebencanaan masih berlaku,” ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo melalui pesan digital pada Jumat (22/5).

Status keadaan darurat ini sangat bergantung pada dua indikator utama yang disebutkan dalam keppres tersebut. Pertama, penyebaran virus SARS-CoV-2 yang masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah terdampak dan implikasi pada aspek sosial-ekonomi.

Dilihat dari konteks penyebaran, Gugus Tugas Nasional mencatat hingga kemarin (21/5) angka kasus positif COVID-19 masih bertambah. Di samping itu, besarnya kasus dalam 1 bulan terakhir menunjukkan penularan terjadi pada transmisi lokal. Ini berarti semakin banyak infeksi virus yang terdeteksi semakin banyak transmisi lokal yang sedang terjadi.

Kedua yakni terkait dengan status global pandemik yang ditetapkan Badan PBB untuk Kesehatan Dunia, WHO, sejak 11 Maret 2020 lalu.

Terkait dengan pandemi global, keadaan darurat di wilayah nusantara ini juga dipengaruhi situasi global tersebut.

“Selama pandemi global belum berakhir dan vaksin serta obatnya belum ditemukan, maka masih diperlukan penetapan status bencana nasional untuk COVID-19,” ujar Doni. Selama WHO belum mencabut penetapan tersebut, selama itu juga status pandemi tetap ada.

Doni menambahkan bahwa status yang diberlakukan menggunakan parameter seperti jumlah korban dan kerugian ekonomi yang meningkat setiap harinya, cakupan wilayah terdampak yang semakin meluas, serta dampak lain yang ditimbulkan selain ancaman di bidang kesehatan, yaitu di bidang sosial, ekonomi, keamanan, ketertiban, dan politik.

Masih berlakunya status bencana nasional juga menunjukkan bahwa negara hadir untuk melindungi warga negaranya secara nyata dan konsisten terhadap bahaya keterpaparan virus SARS-CoV-2.

Sementara itu, Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal
1 menyebutkan bahwa epidemi dan wabah penyakit termasuk dalam bencana nonalam.

Berdasarkan UU tersebut, penetapan bencana nasional didasarkan pada jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan. (Wan)
-->

Banjir Rendam Sejumlah Wilayah Indonesia, Ratusan Keluarga Terdampak

$
0
0
SULSEL, BERITALINGKUNGAN.COM- Banjir melanda sejumlah wilayah Indonesia pada Jumat kemarin (22/5). Kejadian itu dipicu salah satunya intensitas hujan tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana memonitor wilayah dengan banjir di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, NTT dan Aceh.

Banjir yang terjadi di Kabupaten Luwu, Provinsi Selatan mengakibatkan 4 unit rumah rusak berat. Bahkan dua lainnya hanyut terbawa arus deras banjir. Banjir yang terpantau pada pukul 2 dini hari waktu setempat mengakibatkan 75 jiwa mengungsi. Banjir ini berlokasi di Desa Pompengan Tengah dan Pompengan Pantai di Kecamatan Lamasi Timur, Luwu. Kondisi terkini, Sabtu (23/5), pukul 09.00 WIB, banjir berangsur surut.

Kerugian material lain berupa bangunan terendam banjir, yakni 230 unit rumah, 2 sekolah dan 1 tempat ibadah. Sedangkan areal terdampak berupa 450 hektar sawah dan 150 hektar kebun. 

BNPB juga mendapatkan laporan kejadian banjir dari BPBD Provinsi Sulawesi Barat. Banjir di wilayah itu terjadi pada Jumat (22/5), pukul 07.00 waktu setempat. Banjir melanda tiga desa di tiga kecamatan, yakni Batupanga di Kecamatan Luyo, Mammi di Binuang dan Labasang di Matakali.

Sebanyak 55 unit rumah terendam akibat banjir, dengan rincian 40 unit di Kelurahan Batupanga dan 15 di Mammi, sedangkan puluhan hektar sawah di Matakali.

Pantuan pada sabtu pagi (23/5) sekitar pukul 09.20 WIB banjir telah surut.

Banjir juga melanda wilayah timur Indonesia, tepatnya di empat kecamatan, Kabupaten Malaka, NTT. Kecamatan terdampak banjir di Kecamatan Wewiku, Malaka Tengah, Malaka Barat dan Welimpan.

Banjir di sejumlah kecamatan ini merendam 276 rumah dan 20 hektar sawah dan kebun dengan ketinggian air beragam 30 hingga 50 cm. Namun demikian, banjir telah surut pada pagi ini.

Dua kejadian banjir lain yaitu di Kabupaten Hulu, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Aceh Selatan di Provinsi Aceh. Banjir di Kelurahan Barabai Selatan dan Barabai Darat, Kecamatan Barabai, Hulu, Kalsel terjadi pada Jumat pagi (22/5), pukul 05.00 waktu setempat.

Warga terdampak berjumlah 190 KK (585 jiwa), dengan rincian Kelurahan Barabai Selatan berjumlah 70 KK (210 jiwa) dan Barabai Darat 120 KK (375 jiwa). Sedangkan dampak material mencakup 190 unit rumah terendam.

Terakhir yakni banjir di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Banjir terjadi pada Jumat (22/5), pukul 20.00 WIB ini melanda tiga kecamatan. Beberapa desa di kecamatan tersebut terendam dengan ketinggian air beragam 30 – 50 cm. Banjir telah surut di beberapa titik lokasi. Berikut ini desa atau gampong terdampak banjir di kabupaten tersebut, Gampong Ladang Kasik Putih (Kecamatan Samadua), Drien Jalo dan Jambo Papuen (Meukek), Panton Pawoh, Tengah Iboh, Pulo le dan Tutong (Labuhan).

Upaya pemerintah daerah yang dipimpin oleh masing-masing BPBD sangat cepat dengan melakukan evakuasi warga, pendataan dan dukungan logistik penanganan darurat.

Terkait dengan potensi intensitas hujan tinggi dan pergantian musim dari hujan ke kemarau, warga diimbau untuk mewaspadai bahaya bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin puting beliung. (Wan)

-->

Positif COVID-19 di Indonesia Terus Bertambah, Update Terkini Tembus 21745 Orang Terpapar

$
0
0
JAKARTA, BERILINGKUNGAN.COM- Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat jumlah penambahan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 per hari ini Sabtu (23/5) pukul 12.00 WIB bertambah 949 orang sehingga totalnya menjadi 21.745.

Sedangkan pasien sembuh menjadi 5.249 setelah ada penambahan 192 orang dan kasus meninggal menjadi 1.351 dengan penambahan 25 orang.

"Konfirmasi COVID-19 yang positif naik sebanyak 949 orang, sehingga totalnya menadi 21.745 orang, sembuh meningkat 192 orang, sehingga menjadi 5.249 orang, meninggal 25 orang, sehingga menjadi 1.351 orang,” ungkap Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Achmad Yurianto dalam keterangan resmi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Sabtu (23/5).

Melihat adanya penambahan kasus konfirmasi positif yang tinggi, Yuri mengatakan hal itu berarti penularan masih terjadi.

"Penularan masih banyak terjadi," katanya.

Adapun akumulasi data kasus tersebut diambil dari hasil uji pemeriksaan spesimen sebanyak 239.740 yang dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di 69 laboratorium, Test Cepat Melokuler (TCM) di 39 laboratorium dan Laboratorium jejaring (RT-PCR dan TCM) di 149 lab. Secara keseluruhan, 176.035 orang telah diperiksa dan hasilnya 21.745 positif dan 154.290 negatif.

Kemudian untuk jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang masih dipantau ada sebanyak 49.958 orang dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang masih diawasi ada 11.495 orang. Data tersebut diambil dari 34 provinsi dan 399 kabupaten/kota di Tanah Air.

Berdasarkan data yang diterima Gugus Tugas, lima provinsi angka kasus positif terbanyak adalah Provinsi DKI Jakarta dengan total kasus 6.515 disusul Jawa Timur sebanyak 3.595 Jawa Barat 2.045, Jawa Tengah 1.288, Sulawesi Selatan 1.264 dan wilayah lain di Indonesia sehingga total mencapai 21.745 orang.

Kemudian untuk sebaran kasus sembuh dari 34 Provinsi di Tanah Air, DKI Jakarta tertinggi yakni 1.564 kemudian Jawa Barat 471, Jawa Timur sebanyak 426, Sulawesi Selatan 423, Bali 287, dan wilayah lain di Indonesia sehingga total mencapai 5.249 orang.

Kriteria pasien sembuh yang diakumulasikan tersebut adalah berdasarkan hasil uji laboratorium selama dua kali dan ketika pasien tidak ada lagi keluhan klinis.

Selanjutnya Gugus Tugas merincikan data positif COVID-19 lainnya di Indonesia yaitu di Provinsi Aceh 19 kasus, Bali 388 kasus, Banten 768 kasus, Bangka Belitung 39 kasus, Bengkulu 69 kasus, Yogyakarta 225 kasus.

Selanjutnya di Jambi 91 kasus, Kalimantan Barat 168 kasus, Kalimantan Timur 274 kasus, Kalimantan Tengah 292 kasus, Kalimantan Selatan 590 kasus, dan Kalimantan Utara 163 kasus.

Kemudian di Kepulauan Riau 150 kasus, Nusa Tenggara Barat 474 kasus, Sumatera Selatan 725 kasus, Sumatera Barat 443 kasus, Sulawesi Utara 201 kasus, Sumatera Utara 294 kasus, dan Sulawesi Tenggara 215 kasus.

Adapun di Sulawesi Tengah 121 kasus, Lampung 105 kasus, Riau 110 kasus, Maluku Utara 99 kasus, Maluku 157 kasus, Papua Barat 129 kasus, Papua 494 kasus, Sulawesi Barat 86 kasus, Nusa Tenggara Timur 79 kasus, Gorontalo 49 kasus dan dalam proses verifikasi lapangan 21 kasus.
-->

Kebutuhan Pakan Satwa Di Ragunan Aman Selama Pandemi Corona

$
0
0
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN - Jakarta telah memasuki periode ketiga pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sejak dimulai 10 April lalu. Dengan PSBB, semua aktivitas publik dibatasi, termasuk di tempat-tempat wisata seperti Taman Margasatwa Ragunan.

Meskpun tutup dan tidak beroperasi, pihak Taman Margasatwa Ragunan, memastikan kebutuhan pakan satwa tetap terpenuhi. Pihak Ragunan juga berharap pandemi virus corona tidak memberikan dampak buruk terhadap satwa.

"Satwa di Ragunan pada saat ini dalam kondisi baik. Petugasnya juga setiap hari masuk", ujar Kepala Satuan Pelaksana Promosi Taman Margasatwa Ragunan, Ketut Widarsana, di Jakarta, kepada Berita Lingkungan.

Dengan metoda pergantian sif, petugas selalu hadir setiap pagi. Mereka juga menyesuaikan dengan kebijakan PSBB yang dikeluarkan oleh pemerintah.

"Selama pandemi ini terjadi perubahan sif bagi pegawai yang bekerja di kebun binatang Ragunan" kata Ketut Widarsana.

Siagakan Dokter
Selain kebutuhan pakan, Taman Margasatwa Ragunan juga memperhatikan kondisi kesehatan satwa dengan menyiagakan tim dokter. Mereka bertugas seperti biasanya.

"Tim dokter setiap hari masuk melakukan penjagaan secara bergiliran. Karena itu tidak ada masalah, karena semua satwa selalu mendapatkan perawatan", kata Ketut.

Menurut Ketut, kehadiran tim dokter sangat diperlukan untuk merawat satwa dan bersiaga sewaktu-waktu jika diperlukan. Itu sebabnya pihak Ragunan tidak mengenal istilah dirumahkan terhadap pekerjanya, ketika banyak perusahaan melakukannya demi alasan efisiensi.

"Ingat ya, beda antara yang dirumahkan dengan WFH (work from home). Kalo dirumahkan itu sama dengan PHK, tapi kalau work from home itu kan, bekerja dari rumah", kata Ketut.

Ketika pemerintah mengimbau agar pekerjaan dilakukan dari rumah, Taman Margasatwa Ragunan juga mematuhinya. "Untuk mendukung kebijakan pemerintah, kita juga melakukan work from home (bekerja dari rumah) untuk bidang-bidang tertentu", ujar Ketut.

Khusus kegiatan merawat satwa, petugas disiagakan menggunakan sistem bekerja bergiliran. Di Ragunan sendiri, menurut Ketut, jumlah perawat satwa berjumlah 160 orang. Mereka dibagi dua, ada yang libur dan ada yang masuk.

"Mereka itu ada yang berasal dari orang loket, ada yang dari kebersihan, Akhirnya kita alihkan untuk perbantuan. Misalnya untuk peracikan pakan satwa, penimbangan, pendistribusian, pembersihan loket loket dan kegiatan lainnya", ungkap Ketut Widarsana.

Secara total, Taman Margasatwa Ragunan memiliki 700 pegawai, terdiri dari 200 orang PNS, dan sisanya Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) atau dikenal sebagaipegawai kontrak.

"PJLP juga kita sebar, karena tugas pokok mereka sudah tidak dilakukan lagi sekarang. Seperti pelayanan, lalu kita ganti ke bidang bidang lain. Misalnya, ke pendistribusian pakan, pembuatan pakan, pembersihan loket dan lainnya", kata Ketut Widarsana.

Anggaran DKI
Terkait dengan ketersediaan pakan satwa, Ketut memastikan hingga saat ini tersedia dan cukup. Sehingga tak akan ada satwa sakit karena kekurangan pakan, karena biayanya telah dianggarkan oleh Pemprov DKI.

"Kalau untuk pakan satwa, sampai sejauh ini tidak ada kesulitan, karena dananya dianggarkan di tahun sebelumnya dan telah dihitung berapa kebutuhannya. Selama ini, pendanaan kebun binatang Ragunan didukung oleh anggaran DKI", tegas Ketut Widarsana.

Karena berada di bawah naungan Pemprov DKI, maka mekanisme menggunakan sistem lelang bagi pihak ketiga yang akan memenuhi kebutuhan pakan bagi 2888 satwa di Ragunan.

"Siapa yang menjadi pemenang, dia yang akan menjadi suplier untuk memenuhi kebutuhan pakan satwa. Mereka harus memenuhi kebutuhan satwa selama satu tahun", ujar Ketut.

Selanjutnya, semua kebutuhan pakan satwa disesuaikan dengan RAB (rencana anggaran biaya) dan RAP (rencana anggaran pelaksanaan) yang telah disusun setahun sebelumnnya. Ini diperlukan sebagai acuan, sehingga pemberian pakan tidak asal-asalan.

"Kemudian akan kita periksa, kita cek satu persatu dan ditimbang. Jika ada yang reject atau rusak kita kembalikan dan diganti dengan yang baru. Sehingga kesediaan pakan itu aman dan terjamin", papar Ketut Widarsana.

Ketut juga menegaskan, pihaknya tidak akan mengorbankan satwa lain untuk memenuhi kebutuhan makanan satwa, seperti yang terjadi di Kebun Binatang Bandung dan beberapa kebun binatang di luar negeri.

"Kita enggak sampai melakukan itu, karena pakan tersedia dan kita tidak kesulitan untuk menghadirkannya," kata Ketut.

Protocol Covid-19
Pandemi virus corona disusul dengan PSBB memaksa Taman Margasatwa Ragunan menerapkan protocol Covid-19. Hal itu diperlukan untuk menghambat penyebaran virus corona.

"Terkait dengan protocol COvid-19, saat ini semua orang yang masuk dicek suhunya menggunakan scanner", ujar Ketut Widarsana.

Selama PSBB, Taman Margasatwa Ragunan hanya membuka satu akses masuk, dari yang awalnya ada tiga pintu masuk.  "Saat ini semua kita fungsikan hanya di pintu masuk Barat dekat kavling Polri. Jadi semua keluar masuk hanya boleh lewat situ", terang Ketut.

Selanjutnya, siapa pun yang masuk harus mengikuti sejumlah pemeriksaan. Termasuk para suplier penyedia pakan satwa.

"Para suplier harus mengikuti protokol kesehatan. Mulai dari di scanner kemudian di sampingnya juga disediakan mobil tangki disinfektan", tegas Ketut.

Selain itu, semua orang yang masuk Ragunan diwajibkan menggunakan masker. Juga tak ketinggalan dengan petugas di lapangan. "Mereka wajib menggunakan masker", tegas Ketut.

Tak hanya itu, petugas juga diharuskan menggunakan peralatan APD lengkap, serta menerapkan aturan jaga jarak.

"Sekarang ini yang tadinya salaman, sudah tidak boleh lagi. Termasuk juga harus menjaga jarak terhadap satwa" ujar Ketut Widarsana.

Khusus terhadap satwa, bagi Ketut, hal itu sebagai langkah pencegahan, mengingat adanya temuan satwa tertular virus corona. "Karena ada informasi juga di luar, bahwa sudah ada satwa yang terkena Covid-19", katanya

Tempat Wisata Juga Penelitian Satwa
Taman Margasatwa Ragunan yang terletak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, merupakan kebun binatang pertama di Indonesia yang usianya mencapai 156 tahun.

Sejak didirikan pada 18 September 1864 Taman Margasatwa Ragunan yang dikenal sebagai kebun binatang Ragunan tidak pernah sepi dari pengunjung. Utamanya, di akhir pekan atau hari libur nasional.

Pengunjung yang berkunjung bukan hanya dari Jakarta, tetapi juga dari berbagai daerah. Pasalnya, Ragunan dikenal sebagai objek sekaligus pusat penelitian dan pelestarian satwa.  

Menurut sejarahnya, Kebun Binatang Ragunan awalnya bernama Planten en Dierentuin (Tanaman dan Kebun Binatang), didirikan di atas lahan seluas 10 hektar milik pelukis ternama, Raden Saleh, di Jalan Cikini Raya Nomor 73, Jakarta Pusat.  

Ide pendirian kebun binatang oleh Raden Saleh terinspirasi saat bersekolah di London, Inggris. Raden Saleh yang cinta pada hewan dan tumbuhan. serta menjadikannya sebagai inspirasi saat melukis.  

Saat itu, kebun binatang dikelola Perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna Batavia (Culturule Vereniging Planten en Dierentuin at Batavia). Tahun 1949, namanya menjadi Kebun Binatang Cikini.

Seiring perkembangan kota, Cikini dianggap kurang cocok sebagai lokasi kebun binatang. Lalu disiapkan lahan seluas 30 hektar di daerah Ragunan sebagai lokasi baru.  

Pada tahun 1964, Pemprov DKI Jakarta memindahkan satwa koleksi Kebun Binatang Cikini ke Ragunan. Pemindahan itu dipimpin oleh dokter hewan THEW Umboh.

Taman Margasatwa Ragunan diresmikan pada 22 Desember 1966 oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin.  

Saat ini, Taman Margasatwa Ragunan berada di atas lahan seluas 174 hektar dengan koleksi satwa sebanyak 2.888 ekor yang dikelompokkan sesuai jenis dan habitat.

Selain memiliki beraneka ragam jenis satwa, Taman Margasatwa Ragunan juga memiliki  sejumlah fungsi ekologis, seperti daerah resapan air, mencegah banjir dan juga paru-paru kota.  (Jekson Simanjuntak)

Pemodelan Data Satelit Saat Covid-19, Bumi Lebih Bersih

$
0
0

Perubahan kualitas udara dideteksi melalui Satelit Sentinel-5 di atas  wilayah China Bulan Desember 2019 dan Maret 2020 (sumber : ESA)
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM - Pasca-merebaknya Covid-19 di Wuhan, akhir Desember 2019, memaksa pemerintah Cina mengambil tindakan tegas. Cina menghentikan kegiatan sehari-hari, menutup pabrik dan pembangkit listrik hingga menghentikan operasional kendaraan umum.

Hal itu menyebabkan perubahan kualitas udara seiring pengurangan emisi nitrogen dioksida (NO2) di udara, seperti dipantau oleh Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) melalui Satelit Sentinel-5 yang didukung ESA (European Space Agency). Data menunjukkan perubahan kualitas udara pada bulan Desember 2019 hingga saat ini.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional - LAPAN sengaja menggunakan data dari CAMS ESA, karena tersedia secara global dan datanya beragam.

"Data CAMS mudah diakses juga", ujar Dr. M. Rokhis Khomarudin, Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN.

Data CAMS memperlihatkan terjadinya perubahan kualitas udara di Cina pada bulan Desember 2019 yang  sempat tinggi, berangsur-angsur menurun pada bulan Januari 2020, dan puncak pada Februari 2020. Kemudian setelah pandemi Covid-19 mereda, pada Maret 2020 terlihat peningkatan partikel-partikel halus di udara.

Rokhis Khomarudin menilai hal itu akibat mengeliatnya kembali kegiatan industri di Cina. Ketika selama ini diam, mereka mulai menggenjot lagi produksinya. "Masih dugaan saja,  tapi besar kemungkinan aktivitas manusia menjadi penyebab, lagi-lagi perlu penelitian lebih lanjut", ujarnya.

Setelah Cina, wabah Covid-19 juga menjangkiti benua Eropa. Apa yang terjadi di Cina juga terjadi di langit Eropa, terkait perubahan kualitas udara yang dipantau ESA melalui pemodelan dari data satelit.

ESA menggabungkan pengamatan satelit dengan permodelan komputer atmosfer yang terperinci. ESA menemukan adanya perubahan konsentrasi partikulat NO2 di udara pada bulan Maret 2019 dibanding bulan Maret 2020.

Sebagaimana disampaikan melalui https://www.eea.europa.eu/highlights/air-pollution-goes-down-as, baik di Spanyol, Perancis dan Itali pada bulan Maret 2020 terlihat penurunan konsentrasi partikulat di udara, dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2019.

Bagi Rokhis Khomarudin, hal itu akibat kebijakan penguncian wilayah (lockdown) sehingga lalu lintas menurun dratis. "Kita menduganya seperti itu", katanya.

Melalui pemodelan data satelit yang dikeluarkan oleh CAMS, LAPAN juga mengamati terjadinya penurunan partikel halus polutan udara di atas wilayah Indonesia bagian barat, disaat merebaknya wabah Covid-19.

"Kami melihatnya dari penampakan data satelit, dan tetap diperlukan analisa lebih mendalam. Skala yang terlihat juga merupakan skala global dan belum detail", ungkap Rokhis.

Secara umum LAPAN menemukan penurunan partikulat (PM10) pada Maret 2020 dibandingkan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Diduga hal itu akibat oleh menurunnya aktifitas manusia, industri dan transportasi, yang tidak saja di wilayah Indonesia tetapi juga di negara-negara tetangga.

"Kesimpulan itu kita dasarkan atas informasi pada hasil ekstraksi data Sentinel tersebut, tetapi kita masih perlu teliti lebih lanjut", pinta Rokhis

Sehingga, menurut Rokhis, jika dilihat lebih rinci di Jambi yang di tahun sebelumnya akibat kebakaran hutan, ditemukan partikulatnya lebih dari 300 µg/m3. Saat ini, berdasarkan data  CAMS turun menjadi 20 µg/m3.

"Hal yang sama juga terjadi di Jawa", kata Rokhis

Kendati demikian, Rokhis mengingatkan jika dugaan menurunnya aktifitas manusia, industri dan transportasi di wilayah Indonesia bagian barat perlu pembuktian lebih rinci.

"Ini masih merupakan dugaan awal, tetapi kita perlu pembuktian lebih detail", ujarnya,

Sementara khusus untuk perwajahan Indonesia timur, umumnya kualitas udara masih sangat baik. Semua terlihat jernih. Dan untuk informasi selengkapnya, silahkan klik link berikut: https://www.ventusky.com/?p=-5.0;123.2;5&l=pm25.

Sementara itu, terkait kemungkinan data satelit yang satu berbeda dengan satelit yang lain, menurut Rokhis sangat mungkin terjadi, khususnya terkait indeks udara bersih. Hanya saja, secara umum semua satelit  mencatat terjadinya penurunan drastis jumlah polutan akibat Covid-19.

"Seperti yang saya sebutkan tadi, penampakan satelit menunjukkan hal itu, tapi masih perlu analisa lebih detail", pintanya.

Sejauh ini, data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) merupakan salah satu dari 6 layanan yang membentuk Copernicus, program pengamatan lingkungan Bumi oleh Uni Eropa demi kepentingan warga Eropa. Data ini banyak digunakan oleh lembaga-lembaga di dunia yang melakukan pemantauan kualitas udara.

"Copernicus juga menawarkan layanan informasi berdasarkan pengamatan satelit Bumi, data dan pemodelan in situ (non-satelit)", ujar Rokhis.

Dengan kondisi seperti sekarang ini, Bumi seakan sedang membersihkan dirinya dari aneka polutan yang kerap menyekapnya. Menurut Rokhis Khomarudin, ketika aktifitas manusia berkaitan langsung dengan lingkungan, maka secara tidak langsung, aktivitas tersebut, kini berkurang sangat signifikan dari sebelumnya.

"Dari sisi lingkungan, ini menjadi pembelajaran berharga. Tetapi dari sisi korban, kita tentu tak ingin ada korban manusia yang dikaitkan dengan pembersihan Bumi ini", pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)

Gakkum KLHK Ungkap Perdagangan Kantong Semar Siap Jual ke Taiwan

$
0
0


SEKADAU, BERITALINGKUNGAN.COM - Tim gabungan Ditjen Gakkum KLHK dan BKSDA Kalbar SKW II Sintang berhasil mengungkap perdagangan kantong semar (spesies Nepenthes clipeata dan Nepenthes spp) dan sejumlah tumbuhan lainnya yang siap dijual ke Taiwan.

Tim gabungan menangkap RB (23) dan MT (32) beserta barang bukti 25 paket kantong semar pada pada 27 Mei 2020 di Jalan Lintas Kalimantan Poros Tengah, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat, saat hendak bertransaksi.

Selain menyita 25 paket kantong semar (spesies Nepenthes clipeata dan Nepenthes spp), petugas juga menyita 1 paket Sonerila, 1 paket Komalomena silver, Vilodendrum boceri, Labisia kura-kura, Alokasia silver.

Hasil penyelidikan menunjukkan RB dan MT merupakan pemasok kantong semar kepada AC, pemilik nursery di Taiwan. Nursery milik AC menjual berbagai jenis kantong semar yang berasal dari berbagai negara di Asia Tenggara.

Sebelumnya, Komunitas Suara Pelindung Hutan pernah melaporkan AC kepada petugas KLHK sebagai perambah dan penyelundup tumbuhan dilindungi.

Berdasarkan pengakuan RB dan MT, tumbuhan dilindungi itu mereka jual seharga Rp 500 ribu per pokok. Profesi itu telah mereka lakoni sejak 2017 di Taman Wisata Alam Gunung Kelam. Hasilnya mereka jual secara online kepada pembeli dari luar Pulau Kalimantan, dan pembeli internasional antara lain dari Taiwan, Penang, Kuching, dan Kuala Lumpur.

“Ini pertama kali Gakkum KLHK menyidik kasus perdagangan tumbuhan dilindungi. Kami akan mengembangkan kasus ini, terutama menelurusi jaringan internasional penyelundupan tanaman dilindungi,” ujar Sustyo Iryono, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan.

RB dan MT sempat ditahan di Kantor Seksi Wilayah Pontianak, Balai Gakkum Kalimantan, sebelum dititipkan ke Rumah Tahanan Polda Kalimantan Barat. Penyidik menjerat keduanya dengan Pasal 21 Ayat 1 Huruf a Jo. Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana penjara maksimum 5 tahun dan denda maksimum Rp 100 juta.

Hasil pemeriksaan terhadap kedua pelaku, Penyidik KLHK menetapkan RB (23) pemilik tumbuhan Nepenthes clipeata dan Nepenthes spp sebagai tersangka, sedangkan MT (32) diperiksa sebagai saksi.

Kantong semar spesies Nepenthes clipeata termasuk tumbuhan karnivora endemik yang hanya tumbuh di Bukit Kelam, Sintang, Kalimantan Barat. 

IUCN (International Union for Conservation of Nature) pada tahun 2014 menetapkan Nepenthes clipeata yang tumbuh di celah-celah curam batuan granit itu masuk dalam kategori Red List sebagai critically endangered atau sangat berisiko punah. (Jekson Simanjuntak)

‘Sidang Rakyat’ Tuntut Batalkan UU Minerba Yang Baru

$
0
0
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Rangkaian ‘Sidang Rakyat’ untuk menggugat dan membatalkan Undang-undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang baru disahkan, dimulai pada hari ini, Jumat (29/5/2020).

Sidang rakyat digelar sebagai bentuk protes masyarakat atas pengesahan UU Minerba yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru pengesahannya. Selain itu, proses pengesahan UU itu dibuat secara sepihak tanpa mengajak rakyat berdiskusi.

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang juga juru bicara #BersihkanIndonesia menilai, pemerintah dan DPR tidak mengatur klausul hak veto, atau ‘hak mengatakan tidak’ bagi warga yang menolak tambang. UU Minterba itu juga tidak melibatkan masyarakat saat disahkan pada 12 Mei 2020.

“Rakyat dari berbagai wilayah lingkar tambang pada sidang ini membuktikan, mereka tidak diajak bicara saat DPR mengesahkan UU Minerba itu, sehingga tidak sah dan tidak memiliki legitimasi,” ujar Merah

Dalam pembukaan Sidang Rakyat, Merah menyebut, produk hukum UU Minerba tidak berangkat dari permasalahan konkret yang muncul dari aktivitas eksploitasi pertambangan.

Kasus-kasus seperti; izin tambang yang terbit di hutan lindung, menyisakan lubang tambang, terus memberi insentif pada energi kotor fosil, baik batu bara hingga panas bumi yang menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, pencemaran ladang, dan sumber air bersih.

“Ada 1.710 izin tambang di hutan lindung, 3.712 izin di hutan produksi, 2.200 izin di kawasan hutan produksi terbatas. Belum lagi, 3.092 lubang tambang batu bara yang tercipta akibat ekspansi energi maut yang menyebabkan meluasnya konflik hingga banyak anak-anak meninggal dunia,” ungkap Merah.

Menurut Merah, UU Minerba yang baru harus dibatalkan karena tidak sejalan dan bahkan kontraproduktif dengan kepentingan rakyat dan hanya menguntungkan raksasa pertambangan batu bara yang sedang akan habis masa berlakunya.

Selain itu, UU Minerba yang baru memberi keleluasaan bagi oligarki. Karena itu, kami menilai, “UU Minerba lebih layak kita sebut sebagai memo jaminan keselamatan terhadap para pengusaha, bukan keselamatan rakyat,” kata Merah.

Senada dengan Merah, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpendapat, pengesahan UU Minerba merupakan indikator kembalinya Indonesia pada pemerintahan yang otoriter.

"UU Minerba anyar ini tidak hanya berdampak buruk terhadap masyarakat di daratan, tetapi juga bagi masyarakat bahari", ujar Asfinawati.

Saat ini, Asfinawati menilai, eksploitasi telah beranjak dari ruang darat yang sudah habis dikeruk. "Artinya, proses ekstraksi baru telah masuk ke kehidupan masyarakat bahari,” kata Asfinawati. Oleh karena itu, ia pun sepakat untuk membatalkan UU Minerba yang dia nilai nihil keterlibatan rakyat.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, para penguasa negara seperti menggelar karpet merah bagi pengusaha tambang.

"Karpet merah bagi pengusaha tambang untuk memperluas wilayah tambangnya tanpa batas," ungkap Susan.

Sidang Rakyat’ untuk menggugat dan membatalkan UU Minerba yang baru, digagas oleh sejumlah organisasi yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia dan berbagai jejaring masyarakat sipil lainnya seperti Fraksi Rakyat Indonesia, yang sejak awal telah menolak rancangan undang-undang tersebut lantaran hanya memuluskan kepentingan para oligarki batu bara, bukan rakyat.

Sidang yang berlangsung hari ini hingga tiga hari kedepan diikuti lebih dari 2 ribu komunitas yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Sidang dapat diikut dan disaksikan melalui kanal YouTube Bersihkan Indonesia dan YLBHI. Selain itu, sidang juga dapat diakses melalui siaran langsung (live) Facebook Bersihkan Indonesia. (Jekson Simanjuntak)

Ini Dia, Pasal Kontroversial UU Minerba

$
0
0
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM - Aturan mengenai pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia memasuki babak baru. DPR akhirnya mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba, pada Selasa (12/5/2020) melalui Rapat Paripurna.

Revisi UU minerba yang baru itu memuat  sejumlah pasal kontroversial terkait penerbitan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB), wilayah hukum pertambangan, penguasaan mineral dan batu bara, kriteria menetapkan WPR, hingga kriminalisasi terhadap warga penolak tambang.

Sementara itu, DPR berdalih UU Minerba yang baru diperlukan untuk memperjelas soal perpanjangan izin, pengaturan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi hingga penguatan badan usaha milik negara (BUMN).

Sejumlah kalangan, utamanya NGO lingkungan menolak pengesahan tersebut, karena dinilai sarat kepentingan pengusaha tambang, selain proses pembahasannya yang terburu-buru.

Berita Lingkungan mencoba merangkum sejumlah pasal kontroversial dalam aturan soal mineral dan batu bara, serta pasal-pasal penting yang dihapus dari UU lama. Berikut uraiannya:

1. Pasal 1 ayat (13a)
Di ketentuan baru ada Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB): izin yang diberikan untuk kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru.

2. Pasal 1 ayat 28a
Pasal yang mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.

Definisi yang baru itu dianggap mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan, mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk dalam ruang hidup masyarakat.

3. Pasal 4 ayat 2
Pasal ini khusus mengatur penguasaan mineral dan batu bara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan di UU lama, kewenangan itu ada di pemerintah daerah. UU Minerba baru mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Akibatnya, aturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

4. Pasal 22
Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria menetapkan WPR telah membuka peluang terhadap penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.

5. Pasal 42 dan Pasal 42A
Untuk keperluan eksplorasi, pasal ini mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara menguasai lahan dalam jangka waktu yang lama.

Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi hanya 2 tahun. Di UU baru, pengusaaan tanah berskala besar oleh pengusaha tambang diperbolehkan 8 tahun dan dapat diperpanjang setiap satu tahun sekali. Masa penguasaan lahan lebih lama berpeluang terjadinya land banking.

6. Dihapusnya Pasal 83 ayat (2) dan (4) UU Minerba Lama
Pasal 83 ayat (2) UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Dan di Pasal 83 (4) UU lama menyebut batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan batu bara paling luas 15 ribu hektare.

7. Pasal 162 dan 164
Kedua pasal ini membuka peluang terjadinya kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sementara Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

8. Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama
Pasal 165 UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Pasal itu menyebut pejabat yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah)."

Di UU yang baru, ketentuan ini hilang. Sejumlah pihak menilai, hal itu membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.

9. Pasal 169A
Pasal ini khusus terkait perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2x10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya.

Di UU yang lama disebutkan, kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang. Pasal UU ini berpotensi membuka celah perpanjangan kontrak baru bagi sejumlah perusahaan minerba yang akan selesai masa kontraknya.

10. Pasal 169B ayat (5)
Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini akan memberikan keistimewaan bagi pemegang IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan.

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan RUU Mineral dan Batu Bara menjadi Undang-undang UU Minerba yang baru, ketika koalisi masyarakat sipil mengkritik keras revisi tersebut.

Koalisi masyarakat sipil menilai Revisi UU Minerba harus dibatalkan, karena memuat sejumlah pasal bermasalah, serta lebih berpihak kepada pengusaha (koorporasi) dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat yang ada disekitar tambang. (Jekson Simanjuntak)
Viewing all 1284 articles
Browse latest View live